Kopi sudah menjadi bagian penting bagi kehidupan banyak orang. Di Amerika Serikat, sekitar 54 persen penduduk berusia diatas 18 tahun meminum kopi setiap harinya. Amerika pun menjadi negara pengimpor kopi terbesar di dunia senilai 4 miliar dolar Amerika per tahunnya. Namun, tidak banyak orang yang mengenal asal kopi yang mereka minum setiap paginya. Hal ini tidak saja dialami oleh para konsumsi, tapi juga negara-negara eksportir, seperti Indonesia.
Dalam sebuah acara Specialty Coffee Association of America yang berlangsung di Atlanta, negara bagian Georgia, baru-baru ini Indonesia berpartisipasi di antara lebih dari 7.000 produsen dan perusahaan kopi lainnya.
Salah satu yang menarik banyak minat pengunjung adalah film dokumenter, Aroma of Heaven, karya sutradara Budi Kurniawan. Film dokumenter yang menggambarkan sejarah kopi ini banyak membuka mata para pecinta kopi atas minuman yang menjadi bagian rutinitas kehidupan mereka sehari-hari.
Program Director VOA Indonesia, Naratama, berkesempatan untuk wawancara Budi Kurniawan di Atlanta, Georgia.
VOA: Budi Kurniawan, apa kabar?
Budi: Baik, mas Nara.
VOA: Balik lagi ke Amerika ini ya?
Budi: Iya, untuk ketiga kalinya.
VOA: Dua kali sebelumnya apa?
Budi: Cerita sedikit, waktu pertama kali datang ke Amerika atas undangan atase perdagangan saat itu, Ibu Made Marthini, kita melakukan road show dari LA trus ke Seattle, Philadelphia, Chicago, DC dan New York. Yang kedua kali atas undangan Asean American Film Festival di Philadelphia. Kami dapat nominasi di sana.
Untuk ketiga kalinya, ini undangan untuk menghadiri pemutaran film di Atlanta acara Asosiasi Speciality Coffee of America atas undangan kementrian perdagangan di Jakarta.
VOA: Bagaimana tanggapan orang Amerika ketika menonton Aroma of Heaven?
Budi: Mostly mereka terbuka, seperti dalam kutipan filmnya, kopi membuat kita melek. Melek juga kita tentang darimana kopi kita berasal. Dan itu juga sebenarnya konsep awal kita membuat film ini, dengan satu pertanyaan dasar, seberapa dekat kita dengan kopi yang kita minum setiap hari? Nah, film ini kemudian membuat mata dan membuat melek orang tentang kopi dan Indonesia.
VOA: Jadi, ketika orang menonton film ini, ada kesan filosofi dan pengenalan kopi. Sebenarnya yang mau disampaikan apa?
Budi: Yang ingin dijelaskan sebenarnya adalah kopi is a part of life ya. Itu menjadi suatu bagian, you wake up in the morning, bikin kopi, kopi seakan energy buat kita. Kopi menjadi bensin buat kita berproduktivitas. Sometimes kopi membuat kita inspiring untuk bikin sesuatu, seperti anak-anak muda di Silicon Valley, mereka gak bisa lepas dari kopi, bahkan mereka menamakan programnya sebagai Java Script. Bahkan penyair-penyair puisi di Iran pun mereka minum kopi.
VOA: Jadi kopi adalah bagian dari kreativitas?
Budi: Exactly.
VOA: Jadi kenapa Budi membuat film Aroma of Heaven dan tentang kopi?
Budi: Good question, Mas Nara. Jawabannya adalah saya punya pertanyaan paling dasar ya. Film ini, dan saya mengambil genre documenter, akan mejadi archive visual tentang kopi yang sudah tumbuh kembang selama tiga ratus tahun di Indonesia. Tiga ratus tahun ini saya belum menemukan archive visual yang secara komprehensif dan saya membuat ini dengan master plan setelah Aroma of Heaven akan ada sekuel berikutnya yang aka nada tujuh series tentang kopi. Di mana ada Aroma of Heaven Legacy of Java (khusus tentang kopi Jawa), Mantra of Kahwa (khusus tentang kopi Sumatra), The Land of Toraja (khusus tentang kopi Toraja), kemudian Bali Kintamani (khusus tentang kopi Bali), The Sound of Flores (khusus tentang kopi Flores), dan terakhir The Origin of Papua (tentang kopi Papua). Seven films about Coffee in Indonesia.
VOA: Kenapa tertarik bikin tentang Kopi?
Budi: Memang setelah bikin film ini, saya ingin memfokuskan diri sebagai documenter film maker dan akan mengambil tema-tema tentang komoditi kita, seperti beras. Kita tahu di Jawa, saudara-saudara kita punya beras. Tapi saudara-saudara kita di Flores punya sagu. Itu yg saya angkat, tentang sagu dan beras. Kemudian juga pala di Ternate, kelapa.. kita punya music, Rayuan Pulau Kelapa, tapi kita juga tau, kelapa menjadi komoditi dan teh, bahkan tekstil.
VOA: Proses produksinya gimana?
Budi: Untuk risetnya sendiri saya lakukan tiga tahun. Saya dating ke beberapa praktisi kopi, roaster, saya Tanya business owner, interview, observasi, dari café ke café. Ke library, baca literature, pustaka, ketemu para akademisi. Mengapa tiga tahun, karena saya memprediksi ini memang kan menjadi tujuh film tentang kopi. Saat ini saya siap untuk memproduksi tujuh seriesnya setelah riset tiga tahun. Produksinya dua tahun on-off, karena kita melakukan ini dengan self-funding dengan swadaya, dengan teman-teman semua. Kita running ini dengan one reason, karena kita cinta kopi, kita bikin film tentang kopi. Dan kita bikin film kopi tentang Indonesia, tentang negara kita, tentang budaya kita.
VOA: Messagenya itu ingin mempromosikan kopi Indonesia untuk berkompetisi dengan kopi-kopi lain atau apa?
Budi: Ya, lebih tepatnya saya ingin mengintroduksi tentang Indonesia lewat kopi, ya. Kita tahu bahwa kemudian di film itu ngga cuma bicara kopi, tapi ada culture disana. Contoh misalnya di part bagian Gayo itu ada syair tentang kopi lewat didong. Ada musik pakai tangan, pakai bantal kecil. Kemudian ada mantra, orang Gayo menanam kopi tuh ada mantranya, dikawinkan dengan alam, angin sebagai saksinya. Kemudian di Flores, mereka menanam kopi sambil bernyanyi, memetik kopi sambil bernyanyi. Jadi kombinasi antara budaya dan kopinya terciptalah Aroma of Heaven.
VOA: Budi pergi ke berapa tempat kemudian shooting, berapa banyak B-roll yang dipunya?
Budi: Totally karena ini jaman digital, itu ada sekitar ada 6 terra.
VOA: Menyeleksinya gimana?
Budi: First cut kita sekitar enam jam, kemudian disortir lagi emapt jam, disortir lagi tiga jam. Ini sudah merasa happy sebenarnya tiga jam, tapi it’s impossible buat sebuah tayangan tiga jam. Konsentrasi mata penonton gimana nih, kita pertimbangkan penonton. Dua jam masih pertimbangkan juga konsentrasi penonton. Akhirnya ketemulah formulanya, satu jam lima menit. Bonus lima menitnya untuk title sequence, begitu.
VOA: Minim narasi, lebih testimony?
Budi: Itu bagian dari treatment kami sebagai filmmaker, men-treat film Aroma of Heaven ini sebagai sebuah kesaksian. Jadi, kesaksian para pelaku kopi dari hulu sampai hilir. Jadi, biarkan mereka yang bicara tanpa bridging narasi disana, sehingga yang tercipta adalah ungkapan-ungkapan jujur yang mereka rasakan kesehariannya. Seperti ungkapan petani dari Bajawa, Petronelawea, dia bilang, “Bapak, Ibu… Bapak, Ibu semua bisa makan, bisa sekolah dari kopi. Apa bapak ibu pernah makan kopi?” Nah, itu kan pertanyaan-pertanyaan yang sangat substansial dari sudut pandang seorang farmer. Itu justru yang kami kejar, kenapa kita bikin potongan-potongan statement yang kita sambung.
VOA: Gimana tanggapan publik Amerika, atau publik dunia? Masuk festival di beberapa negara, di Iran dan China.
Budi: Secara umum tanggapan mereka, seperti yang saya tadi bilang di depan, mereka melek setelah nonton film ini, seperti mereka melek setelah minum kopi. Mereka jadi tahu Indonesia itu ternyata misalnya, mereka tahu bahwa Indonesia sebagai komunitas Muslim, tapi ternyata ada Christians disana setelah lihat film ini. Bahwa kemudian Indonesia sangat beragam, diverse. Dan diverse-nya itu direpesentasikan dengan varian kopi yang beragam. Kita punya Sumatra coffee, punya Java coffee, punya Bali coffee. Rasanya beda itu sama dengan budaya yang sangat beragam. Jadi keragaman budaya kita sama dengan keragam varietas kopi kita.
VOA: 6 Terra, produksinya pakai apa? DSLR atau apa?
Budi: Saya boleh membuka jawabannya dengan sebuah ungkapan, metaphor. Saya bilang sama teman-teman, dan teman-teman setuju dengan konsep ini adalah jangan melihat kamera yang sekecil ini, tapi kita melihat gagasan yang besar dibalik kamera kecil ini. Jadi, jawaban konkritnya kita menggunakan DSLR 550 dan 5D. Tapi kemudian orang-orang dibelakang ini, orang-orang yang datang dengan gagasan-gagasan besar seperti itu.
VOA: Banyak kendala dalam produksi?
Budi: Banyak sekali, ya, selain kendala, saya memberikan motivasi ke teman-teman yang tergabung disini, kita lihat kendala sebagai sebuah tantangan, sebagai challenge kita untuk create something as a filmmaker. Landscape bagus, tapi kita kekurangan tripod. Okay kita akalin pakai apa nih? Okay, movementnya seperti ini. Ini ada yang tadi Mas Nara bilang, ini kita focus di green bean nih. Tapi bagaimana dengan lensa yang kita punya.
VOA: Karena bentuknya beda-beda.
Budi: Dan saya membiasakan sebelum kita turun ke lapangan, kita melakukan dulu script conference. Kita bicara base on script yang saya punya, script yang tercipta dari literature yang saya baca, saya diskusi sama kameramen kita. Kita disana akan ada treatment yang kita ingin ciptakan seperti ini, mood yang ini kita ciptakan seperti ini, tune warna yang ingin kita kejar earthy, warna tanah, apa yang akan kita bawa dengan filter dan lensanya. Nah, kita datang ke lokasi sudah lengkap dengan konsep. Kita sudah minum kopi dulu, sudah dapat ide, kita berangkat shooting.
VOA: Latar belakang ketertarikan dengan kopi? Dari Semarang, belajar di UNDIP, Komunikasi. Dari Komunikasi ke documentary?
Budi: Aku cerita sedikit. Jadi bersamaan waktu saya kuliah komunikasi di UnDip, kebetulan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) membuka satu kelas jauh, satu program khusus, saya ikut kesitu dan kemudian saya dapat pembelajaran basic tentang cinematography dan kemudian saya kembangkan, saya kombinasikan dengan ilmu komunikasi. Kemudian saya tertarik dengan documentary karena itu adalah satu genre yang kita bisa explore secara kreatif maupun secara konten. Pendekatan-pendekatan literatur dan research itu sangat dibutuhkan dalam documentary.
VOA: Ke depannya? What’s the plan?
Saya ingin saya ceritakan sedikit disini, dan seperti penonton melihat dalam film Aroma of Heaven ini, tayangan pertama itu ada logo PFN. Film ini hasil kerjasama BudFilm, studio saya, dan PFN, Perusahaan Film Negara. Ini penting karena buat saya, peran negara memiliki kontribusi terhadap produksi film documenter. Seperti yang tadi saya bilang, bahwa film ini kami dedikasikan sebagai visual archive. Dan PFN disana hadir untuk itu. Menjawab pertanyaan Mas Nara, next-nya, seperti yang saya bilang, setelah kopi kita punya teh, kita punya cacao, kita punya coklat, bahkan kita punya karet, kita punya tekstil, kita punya ikan. Dan keragaman itu saya dedikasikan untuk saya buat sebagai visual archive. Bukan buat sekarang, tapi buat 20 tahun kemudian, buat generasi depan. Okay, 2016 pernah ada portrait of country di Atlanta dan ditonton 20 tahun kemudian.