Pandemi virus corona, kekerasan terhadap kelompok minoritas, dan kerusuhan bernuansa rasial menjadi isu-isu yang ikut menarik perhatian warga menjelang pemilu presiden Amerika November nanti, selain tentunya isu-isu konvensional seperti layanan kesehatan, pemberantasan korupsi, kesetaraan gender dan lingkungan hidup. Akankah isu-isu ini mendorong partisipasi politik warga? Bagaimana dengan Indonesia?
Demonstrasi, yang sebagian diantaranya diwarnai aksi kekerasan yang berujung menjadi kerusuhan, terus mengguncang kota-kota di Amerika sepanjang tahun 2020 ini. Terutama setelah insiden meninggalnya George Flyod dalam tahanan polisi di kota Minneapolis, Minnesota, 25 Mei lalu.
Floyd, yang ditangkap karena diduga menggunakan uang palsu, meninggal setelah lehernya ditindih lutut polisi kulit putih Derek Chauvin selama hampir delapan menit, yang terekam kamera telepon seluler beberapa warga yang meminta Chauvin menghentikan aksinya. Kematian Floyd menyulut protes atas jatuhnya puluhan korban kekerasan lain yang juga berkulit hitam seperti Breonna Taylor, Ahmaud Arbery, Tamir Rice, Travoy Martin, hingga yang terbaru Jacob Blake.
Demonstrasi menentang kebrutalan polisi dan rasisme sistemik ini tidak hanya memicu kerusuhan, tetapi juga penghancuran patung-patung dan simbol konfederasi, protes di arena dan kejuaraan olahraga bergengsi seperti bola basket dan balap mobil, dicabutnya film-film yang memotret masa suram perbudakan dari layanan streaming, hingga diskusi terbuka untuk mengganti nama kantor dan pangkalan militer yang menggunakan nama tokoh-tokoh konfederasi.
Menjelang pemilu presiden 3 November mendatang, isu ini kian mengemuka, karena warga juga ingin mengetahui bagaimana calon pemimpin mereka menanggapi isu-isu ini, demikian ujar Steve Phillips, pendiri “Democracy in Color,” organisasi politik yang memusatkan perhatian pada isu ras dan politik.
“Kita belum melihat tanggapan yang cukup dari para pemimpin politik di negara ini. Mereka kini memusatkan perhatian pada reformasi polisi, yang tentunya baik. Tetapi belum cukup menjawab persoalan-persoalan yang ada. Jika ada kepemimpinan politik yang dapat menyalurkan sentimen yang disampaikan warga ketika mereka turun ke jalan, maka ini cara yang baik untuk melihat kemajuan ke depan,” jelasnya.
Diwawancarai secara terpisah, asisten profesor di Universitas Vanderbilt, Brandon Byrd, mengatakan warga kini ingin mendapatkan jawaban-jawaban atas persoalan itu.
“Ini pertanyaannya. Juga momentumnya. Ini yang membuat Anda dapat diidentifikasi. Pertanyaan tentang bagaimana masa depan bangsa, akan menjadi seperti apa, apa yang menjadi dasar cita-cita dan cita-cita apa yang dapat dibangun untuk maju, dalam arti yang lebih besar lagi. Ini sebenarnya yang menjadi pembicaraan dan inilah momentumnya,” jelasnya.
Byrd juga menggarisbawahi rasa optimismenya akan tingginya partisipasi politik warga pada pemilu presiden nanti, lepas dari calon mana yang mereka pilih.
Indonesia Siap Langsungkan Pilkada 9 Desember
Apakah isu-isu seperti ini juga akan mendorong partisipasi politik warga di Indonesia, yang pada 9 Desember nanti akan memilih kepala-kepala daerah baru? Menurut mantan direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini, meski tingkatnya berbeda, pertarungan sengit di lapangan membuat “pilkada rasa pilpres.” Ini dikarenakan pilkada dilangsungkan serentak untuk memilih gubernur baru di sedikitnya sembilan provinsi, pemilihan bupati di 224 kabupaten dan pemilihan walikota di 37 kota pada 32 provinsi.
“..pada 2004 ketika pilpres baru pertama kali berlangsung ada kondisi di masyarakat ketika kita baru saja melewati masa pemilihan yang dilakukan oleh MPR, ada pemakzulan Gus Dur dan peralihan kepemimpinan pada Megawati, sehingga pilpres 2004 selain menjadi pilpres pertama yang menggerakkan rakyat adalah karena (1) mereka dapat langsung memilih pemimpinnya, (2) ada keinginan untuk mendapatkan pemerintahan yang kuat, stabil dan tidak mudah digoyang. Karena pengalaman pemerintahan sebelumnya di mana ada pengalaman sebelumnya ketika presiden berganti karena proses pemakzulan," jelasnya.
Waktu itu, menurut Titi, ada keinginan masyarakat untuk memiliki pemimpin yang lebih stabil, sehingga masyarakat pergi ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Apalagi waktu itu capres cukup banyak, ada lima, dan mereka menggarap konstituennya masing-masing. Jadi gerakan dan isu besar yang dibangun di masyarakat, baik sebagai gerakan kelompok maupun gerakan sosial yang berorientasi pada tata kelola pemerintahan yang lebih holistik, akan menjadi pemicu atau pendorong partisipasi publik dalam pemilu.
Titi menyoroti pilpres tahun 2014, tentang bagaimana kepemimpinan SBY selama dua periode yang di akhir masa kepemimpinannya, yang menurutnya cukup memiliki isu terkait ketegasan dan kemampuan memimpin dengan pengambilan keputusan yang tegas dan lain-lain, meski tidak terlalu banyak masalah, tetapi muncul gerakan kepemimpinan sipil yang sederhana.
"Kebutuhan pada figur baru yang disimbolisasi sebagai kepemimpinan merakyat yang berangkat dari bawah juga memicu partisipasi politik yang tinggi. Jadi, jika dilihat dari periode pilpres kita, isu-isunya cukup khas yang menggerakan pemilih datang ke TPS. Tahun 2019 jumlah partisipasi politik juga sangat tinggi yang juga karena keterbelahan/polarisasi dalam masyarakat,” jelas Titi.
Partisipasi politik merupakan hal mendasar dalam demokrasi. Tidak saja sebagai bagian dari proses memilih pemimpin dan membuat kebijakan, tetapi juga melakukan kontrol atas agenda yang telah diputuskan bersama itu. Isu yang berkembang terbukti ikut mendorong partisipasi politik, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal teknis lain seperti waktu, tempat dan kemudahan memberikan suara menjadi faktor penting lainnya. [em/jm/es]