Pemerintah Amerika Serikat pada Senin (6/1) melonggarkan sebagian pembatasan terhadap pemerintahan transisi Suriah guna memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan, setelah pemberontak Islamis menumbangkan pemimpin Suriah Bashar al-Assad bulan lalu.
Departemen Keuangan AS mengeluarkan lisensi umum berlaku enam bulan yang mengizinkan transaksi tertentu dengan pemerintah Suriah, termasuk penjualan energi dan transaksi insidental.
Kebijakan ini tidak mencabut sanksi terhadap negara yang telah dilanda perang selama lebih dari satu dekade itu, tetapi menunjukkan bentuk dukungan terbatas AS kepada pemerintahan transisi baru.
Lisensi umum itu menegaskan komitmen AS untuk memastikan sanksinya "tidak menghalangi kegiatan yang memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan, termasuk penyediaan layanan publik atau bantuan kemanusiaan," menurut pernyataan dari Departemen Keuangan.
Wakil Menteri Keuangan Wally Adeyemo mengatakan instansinya “akan terus mendukung bantuan kemanusiaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab di Suriah.”
Sejak Assad digulingkan, perwakilan otoritas baru de facto di negara itu mengatakan bahwa Suriah yang baru akan bersifat inklusif dan terbuka bagi dunia.
AS secara bertahap telah mencabut beberapa sanksi sejak Assad meninggalkan Suriah untuk mencari perlindungan di Rusia. Pada Desember lalu, pemerintahan Biden memutuskan untuk membatalkan hadiah senilai 10 juta dolar AS yang sebelumnya ditawarkan untuk menangkap salah satu pemimpin pemberontak Suriah—yang pasukannya memimpin penggulingan Assad bulan lalu.
Pengumuman tersebut disampaikan menyusul pertemuan di Damaskus antara pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Ahmad al-Sharaa yang pernah berafiliasi dengan Al-Qaida, dan diplomat tertinggi AS untuk Timur Tengah, Barbara Leaf, yang memimpin delegasi diplomatik AS pertama ke Suriah sejak Assad lengser. AS dan PBB telah lama menggolongkan HTS sebagai organisasi teroris.
HTS memimpin serangan kilat yang menumbangkan Assad pada 8 Desember, mengakhiri kekuasaan keluarganya yang telah berlangsung puluhan tahun.
Sejak 2011 hingga kejatuhan Assad, pemberontakan dan perang saudara di Suriah menewaskan sekitar 500.000 orang.
Sebagian besar negara memutus hubungan diplomatik dengan Assad akibat tindakan kerasnya terhadap para demonstran, dan menerapkan sanksi terhadap dirinya beserta sekutu dari Rusia dan Iran.
Sebagian besar sanksi yang dipimpin negara-negara Barat menyasar Assad dan lingkarannya karena tindakan brutal terhadap pengunjuk rasa, serta produksi obat stimulan mirip amfetamin bernama Captagon, yang dilaporkan menghasilkan miliaran dolar ketika diselundupkan melalui perbatasan Suriah yang terbuka.
Dengan tergulingnya Assad, otoritas baru Suriah berharap masyarakat internasional bersedia menanamkan dana di negara itu untuk membangun kembali infrastruktur yang hancur dan menghidupkan kembali perekonomian.
Infrastruktur Suriah memang porak-poranda, pemadaman listrik sering terjadi, dan sekitar 90% populasinya hidup dalam kemiskinan. Sekitar separuh dari jumlah total penduduk tidak tahu dari mana mereka bisa mendapatkan makanan berikutnya karena inflasi yang melonjak.
Tekanan untuk mencabut sanksi semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir karena lembaga bantuan terus memangkas program akibat donor yang kelelahan, serta bencana gempa bumi 2023 yang menghantam Suriah dan Turki. Gempa tersebut menewaskan lebih dari 59.000 orang dan merusak infrastruktur penting yang sulit diperbaiki akibat sanksi dan kepatuhan berlebihan, meskipun AS telah mengumumkan beberapa pengecualian kemanusiaan.
Qutaiba Idlbi, peneliti di Atlantic Council yang memimpin kajian tentang Suriah, mengatakan menjelang terbitnya lisensi umum tersebut: “Ada kesepakatan umum,” di antara pemerintah regional dan internasional, “bahwa kita perlu menghindari kembalinya Suriah ke situasi kacau.”
“Satu-satunya jalan maju adalah terlibat secara positif,” ujarnya. [th/lt]
Forum