Di Pakistan, para pasien AIDS kerap mengalami diskriminasi yang membuat mereka enggan mengungkap diagnosis mereka. Ratusan kasus HIV yang dilaporkan di provinsi Sindh pada 2019 termasuk anak-anak. Wilayah itu dilanda banjir yang menghancurkan baru-baru ini, membuat akses layanan kesehatan bagi pasien HIV semakin sulit.
Farida Taaj kehilangan rumah karena hujan lebat baru-baru ini yang membanjiri Pakistan dari Juni hingga Agustus. Banjir tersebut menewaskan lebih dari 17.000 orang dan menyebabkan kerusakan senilai 15 miliar dolar di seluruh negara itu.
Tapi bagi Taaj, tidak ada yang lebih penting dari kesehatan puterinya. Anaknya yang berusia lima tahun itu dinyatakan HIV positif 1.5 tahun lalu. "Ia sangat manis dan sayang kepada saya; saya tidak mengerti. Dari mana datangnya penyakit ini? Putri saya tertular dari mana? Itu yang paling mengkhawatirkan bagi saya," jelasnya.
Puteri Taaj, yang harus minum obat seumur hidup, bukan satu-satunya anak pengidap HIV/AIDS di wilayah itu.
Lebih dari 100 anak dinyatakan positif HIV di Ratodero di Sindh pada 2019, data paling mutakhir yang tersedia. Para tenaga kesehatan mengalami tantangan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai penyakit di wilayah yang sangat konservatif ini. Fasilitas kesehatan yang rusak akibat banjir membuat keadaan semakin sulit karena kebanyakan pasien HIV kehilangan tempat tinggal.
Para tenaga medis seperti Dr. Shahida Hafeez Memon mengatakan mereka berusaha sebisa mungkin untuk membantu pasien.
"Sejumlah pasien mengatakan kepada kami mereka tidak bisa datang karena banjir, maka kami harus mengantar obat-obatan kepada mereka. Kami tetap buka selama banjir dan tantangan terbesar yang kami hadapi adalah kami tak bisa melihat anak-anak. Orangtua mereka yang datang dan mengambil obat-obatan," komentarnya.
Para nakes mengatakan lebih dari 2.100 kasus HIV tercatat di wilayah Ratodero. Lebih dari 1.400 di antaranya adalah anak-anak.
Madina dinyatakan HIV positif setelah tiba di klinik itu dengan demam tinggi. "Demamnya tidak pernah hilang, terkadang lebih buruk, terkadang lebih ringan. Mereka mengatakan ia sakit HIV dan menganjurkan saya membawa anak saya lainnya untuk dites," jelas Ibu Madina, Sakiona Bibi.
Taaj mengatakan sebagian orang menghakimi keluarganya. "Kami bertemu sebagian orang, yang meremehkan puteri saya dan memberitahu saya agar tidak mendekati atau bahkan berbicara dengannya. Dan itu membuat saya sakit hati karena ini puteri saya," jelas Farida Taaj, ibu Bachal.
Kehancuran akibat banjur mungkin pada akhirnya akan berakhir, tapi menurut para orangtua dari anak-anak pengidap HIV positif, sulit untuk melupakan hinaan dan tatapan yang menyakitkan. Para nakes di wilayah itu mengatakan mereka melakukan apa yang bisa: menasihati orang untuk jaga jarak dari penyakit, bukan pasiennya. [vm/jm]
Forum