Isu Iklim
- Associated Press
Untuk Pertama Kali Sejak Berkuasa, Taliban Hadiri Konferensi Iklim PBB
Untuk pertama kalinya sejak pengambilalihan kekuasaan atas Afghanistan pada pertengahan Agustus 2021, Taliban akan menghadiri konferensi iklim PBB, demikian ungkap badan lingkungan hidup nasional negara tersebut pada hari Minggu (10/11).
Konferensi yang dikenal sebagai COP29 ini dimulai pada hari Senin (11/11) di Azerbaijan, dan merupakan salah satu pembicaraan multilateral terpenting yang melibatkan Taliban, yang tidak memiliki pengakuan resmi sebagai penguasa sah Afghanistan.
Badan Perlindungan Lingkungan Nasional memposting di platform media sosial X bahwa sebuah delegasi teknis telah berangkat ke Baku untuk berpartisipasi.
Matiul Haq Khalis, kepala badan tersebut, mengatakan delegasi tersebut akan menggunakan konferensi itu untuk memperkuat kerja sama dengan komunitas internasional dalam hal perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, menyampaikan kebutuhan-kebutuhan Afghanistan terkait akses ke mekanisme keuangan yang ada terkait perubahan iklim, dan mendiskusikan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi.
Lembaga bantuan internasional “Save the Children” pada bulan Agustus lalu menerbitkan sebuah laporan yang mengatakan bahwa Afghanistan adalah negara keenam yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Laporan itu juga mencatat bahwa 25 dari 34 provinsi di Afghanistan menghadapi kondisi kekeringan yang parah atau bencana, yang mempengaruhi lebih dari setengah populasi.
Afghanistan juga memiliki jumlah anak-anak yang kehilangan tempat tinggal akibat bencana iklim tertinggi di antara negara mana pun pada akhir tahun 2023, menurut laporan tersebut.
Profesor Abid Arabzai, dari Universitas Kabul, mengatakan konferensi iklim ini akan membantu negara itu untuk mendapatkan bantuan dan pendanaan internasional untuk mengatasi tantangan iklim di Afghanistan.
“Afghanistan dapat mengklarifikasi tindakan dan komitmen iklimnya kepada komunitas global, sehingga dapat meningkatkan reputasi internasionalnya,” ujar Arabzai. [em/jm]
Sektor Peternakan Dinilai Jadi Penyumbang Signifikan Pemanasan Global
Industri peternakan ternyata telah berdampak signifikan terhadap pemanasan global. Pengurangan konsumsi daging secara global pun terus didorong agar sejalan dengan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan peningkatan energi terbarukan.
Saat membacakan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, Minggu (10/11), peneliti di Institute for Ecosoc Right sekaligus anggota Vegan Squad Indonesia, Sri Palupi, menggarisbawahi sumbangan signifikan sektor peternakan pada pemanasan global. Surat ini dikirimnya kepada presiden menjelang Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-29 atau COP ke-29 yang akan diselenggarakan di Baku, Azerbaijan pada 11-12 November.
Dalam surat tersebut, Sri menyatakan industri peternakan telah berkontribusi secara signifikan terhadap perubahan iklim melalui emisi gas rumah kaca (karbondioksida/CO2, Metana/CH4, Nitrous Oksida/NO2) dalam jumlah besar, perusakan lingkungan akibat polusi udara-tanah-air dan deforestasi secara luas. Oleh karena itu, dampak industri peternakan terhadap pemanasan global tidak dapat diabaikan.
“Tanpa pengurangan signifikan dalam konsumsi daging global maka kita akan kehilangan peluang strategis dalam mengatasi perubahan iklim, menyelamatkan Bumi dan segenap penghuninya,” ungkap Sri.
Lebih jauh Sri memaparkan saat ini dunia tengah menghadapi ancaman yang sangat serius terkait dengan perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global. Apalagi, katanya, The EU's Copernicus Climate Change Service mencatat pada Februari 2024, ambang batas pemanasan global 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris (2015) telah terlampaui.
“Jika pemanasan global tidak terkendali, diperkirakan populasi manusia akan berkurang hingga 75 persen akibat bencana, penyakit, kelaparan, dan kemiskinan,” tuturnya.
Potensi Terjadinya Bencana di Indonesia Meningkat
Indonesia, berdasarkan laporan World Risk Report (WRI) tahun 2022 sebelumnya, tercatat sebagai negara nomor tiga di dunia yang paling berisiko terkena bencana setelah Filipina dan India. Namun, kondisi ini memburuk setelah laporan WRI pada tahun 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua yang paling berisiko terkena bencana setelah Filipina.
“Padahal pada 2018 Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar negara yang paling berisiko terhadap bencana. Bergesernya posisi Indonesia menjadi negara yang berisiko sangat tinggi terhadap bencana ini menunjukkan, Indonesia memiliki tingkat paparan, kerentanan dan kerawanan tinggi terhadap bencana, sementara kapasitas penanganan bencana kurang dan minimnya adaptasi terhadap bencana,” jelasnya.
Sepanjang 2014-2024 ada 35.925 kejadian bencana di Indonesia, di mana sedikitnya 11.350 orang meregang nyawa. Intensitas bencana di Indonesia juga menunjukkan tren peningkatan.
Mempertimbangkan berbagai fakta itu, komunitas Vegan Squad Indonesia, ujar Sri, mengajukan usulan dan mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membuat kebijakan mengurangi konsumsi daging sebagai salah satu langkah strategis dan ekonomis dalam mengatasi perubahan iklim.
Selain itu, pihaknya juga mengusulkan untuk menjalankan komitmen mengurangi deforestasi secara signifikan dan menghindari proyek-proyek pembangunan yang memperburuk deforestasi.
“Melakukan dan memperluas edukasi pada masyarakat tentang pola hidup vegan/vegetarian sebagai langkah efektif mengatasi perubahan iklim, dengan melibatkan berbagai pihak, seperti media, lembaga pendidikan, kelompok agamawan, korporasi, komunitas-komunitas vegan, dan lainnya,” katanya.
Mendorong dan memfasilitasi produksi pangan lokal nabati untuk mendukung dan memperluas penerapan pola hidup vegan/vegetarian, serta mendukung dan memfasilitasi perluasan pertanian selaras alam dengan melibatkan organisasi dan komunitas petani.
Pemerintah Diminta Bawa Usulan ke COP-29
Dalam kesempatan yang sama praktisi vegan sekaligus anggota Vegan Squad Indonesia, Yogen Marshel Wijaya, berharap usulan ini disampaikan oleh delegasi atau perwakilan Indonesia di ajang COP ke-29 nanti. Menurutnya selama ini solusi yang kerap dibuat di ajang tahunan iklim tersebut tidak menyentuh akar permasalahan dan cenderung tidak adil terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ia mencontohkan pada COP ke-27 di Mesir telah disepakati pembentukan dana loss and damage yang dibuat untuk membantu negara yang rentan menghadapi dampak perubahan iklim. Yogen mengibaratkan dana loss and damage ini tidak ubahnya seperti perdagangan karbon karena negara-negara maju yang notabene negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia diperbolehkan untuk tidak mengurangi emisi gas rumah kacanya dengan hanya membayar dana loss and damage kepada negara yang rentan terkena bencana akibat perubahan iklim.
“Jadi solusi COP kurang strategis karena tidak menyasar akar permasalahan pemanasan global itu sendiri. Dan tidak adil karena negara maju boleh tidak mengurangi emisi gas rumah kacanya selama punya uang. dan kita negara berkembang yang tidak punya uang, kita harus mengurangi gas emisi rumah kacanya,” jelasnya.
Ajang COP, ujar Yogen selalu membahas terbatas hanya pada pengurangan penggunaan bahan bakar fosil di sektor transportasi dan industri ketika membicarakan tentang pemanasan global. Padahal, sebenarnya masalah terbesar dari pemanasan global bukanlah pada penggunaan bahan bakar fosil saja.
“Tahun 2006, dari laporan yang dikeluarkan oleh FAO disitu disebutkan bahwa peternakan hewan penyebab emisi yang jauh lebih besar dari emisi semua mobil dan industri bila digabungkan. Padahal selama ini COP hanya membicarakan soal bahan bakar fosil. Dan ternyata peternakan hewan menyumbang emisi yang jauh lebih besar dibandingkan emisi yang dihasilkan dari transportasi dan industri bila digabungkan,” jelasnya.
Penggundulan Hutan dan Industri Peternakan Hewan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2019 melaporkan 75 persen penggundulan hutan atau deforestasi di dunia disebabkan oleh industri peternakan hewan. Menurutnya pola makan nabati dapat membebaskan jutaan kilometer persegi lahan untuk hutan penyerap karbon dan dapat mengurangi hingga 8 giga ton emisi karbon setiap tahun pada 2050.
“Peternakan hewan menghasilkan gas metana yang setara dengan 72 kalinya CO2 dan juga menghasilkan gas nitrogen oksida yang setara dengan 296 kalinya CO2. Sedangkan COP yang selama ini dibahas hanya membahas tentang bahan bakar fosil yang emisinya CO2,” jelasnya.
Selain itu, penggunaan lahan untuk peternakan hewan yang sangat luas tersebut ternyata manfaatnya tidak sebesar lahan pertanian. Berdasarkan laporan FAO, disebutkan bahwa 77 persen lahan yang digunakan untuk peternakan hewan hanya dapat menyumbang 18 persen pasokan kalori global, dan 37 persen pasokan protein dunia. Sedangkan 23 persen lahan pertanian, dapat menyumbang 82 persen pasokan kalori global, dan 63 persen pasokan protein global. [gi/em]
PBB: Target Iklim Perjanjian Paris 'Dalam Bahaya Besar'
Menurut laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB, periode 2015-2024 diprediksi akan menjadi dekade dengan suhu terpanas yang pernah tercatat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan pada Senin (11/11) bahwa sejumlah target yang dimuat dalam Perjanjian Iklim Paris berada “dalam bahaya besar,” bahkan 2024 diperkirakan akan menjadi tahun dengan suhu tertinggi yang pernah tercatat. PBB menyampaikan pernyataan tersebut saat pembukaan KTT Iklim atau COP29 di Baku, Azerbaijan.
Menurut laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB, periode 2015-2024 diprediksi akan menjadi dekade dengan suhu terpanas yang pernah tercatat, berdasarkan enam sumber data internasional.
Suhu panas itu akan mempercepat gletser mencair, dan menaikkan permukaan laut. Tak hanya itu, peningkatan suhu juga akan menciptakan cuaca ekstrem yang berdampak pada masyarakat dan ekonomi di seluruh dunia.
"Target Perjanjian Paris dalam bahaya besar," kata WMO saat para pemimpin dunia melakukan pembicaraan iklim berisiko tinggi di Azerbaijan.
Di bawah Perjanjian Paris, hampir setiap negara di Bumi berkomitmen untuk membatasi pemanasan hingga "jauh di bawah" dua derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dan bahkan sebaiknya di bawah 1,5 derajat Celsius.
Namun, pemantau iklim Uni Eropa Copernicus mengatakan suhu 2024 akan melampaui batas 1,5 derajat Celsius.
Meski masih sejalan dengan Kesepakatan Paris, tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa dunia masih jauh dari target yang ditetapkan.
WMO, yang menggunakan kumpulan data yang lebih lengkap, juga mengungkapkan bahwa 2024 diperkirakan akan melewati batas 1,5 derajat Celsius, dan memecahkan rekor suhu yang baru saja tercatat tahun lalu.
"Krisis iklim menyerang kesehatan, memperburuk ketimpangan, merusak pembangunan berkelanjutan, dan menggoyahkan dasar perdamaian. Kelompok yang paling rentan adalah yang paling terdampak," kata Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam sebuah pernyataan.
Analisis tim pakar internasional yang dibentuk oleh WMO menemukan bahwa pemanasan global jangka panjang saat ini kemungkinan akan berada di sekitar 1,3 derajat Celsius, dibandingkan dengan garis dasar 1850-1900, kata badan tersebut.
"Setiap kenaikan derajat suhu itu sangat penting," tegas Kepala WMO, Celeste Saulo.
"Baik jika berada di bawah atau di atas kenaikan 1,5 derajat Celsius, setiap peningkatan pemanasan global akan memperburuk cuaca ekstrem, dampaknya, dan risikonya."
Saullo memperingatkan bahwa serangkaian peristiwa cuaca ekstrem yang melanda penjuru dunia pada tahun ini "sayangnya merupakan kenyataan baru buat kita".
Serangkaian bencana itu, katanya, "sedikit gambaran masa depan kita". [ah/rs]
- Associated Press
2024 akan Menjadi Tahun Terpanas yang Pernah Tercatat
Untuk tahun kedua berturut-turut, Bumi hampir pasti akan berada dalam kondisi terpanas yang pernah tercatat.
Dan untuk pertama kalinya, bumi tahun ini akan mencatat pemanasan lebih dari 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu pada era praindustri, kata badan iklim Eropa, Copernicus.
Carlo Buontempo, direktur Copernicus, mengatakan, data tersebut jelas menunjukkan bahwa kita tidak akan melihat rangkaian rekor suhu yang panjang tanpa peningkatan terus menerus gas rumah kaca di atmosfer, yang memicu pemanasan global.
Buontempo menambahkan bahwa melewati ambang pemanasan di atas 1,5 derajat Celsius dalam satu tahun itu berarti tidak memenuhi target yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015. Perjanjian itu dimaksudkan untuk mencoba membatasi kenaikan suhu rata-rata 1,5 derajat Celsius sejak era praindustri, selama 20 atau 30 tahun.
Tetapi ia mengatakan bahwa kenaikan pada tahun ini, yang akan melebihi patokan 1,5 derajat Celsius, “secara psikologis penting” saat negara-negara membuat keputusan secara internal dan mengadakan pendekatan perundingan pada KTT perubahan iklim PBB atau COP 29 tahun ini.
Sebuah laporan PBB tahun ini mengatakan bahwa sejak pertengahan 1800-an, dunia telah mengalami kenaikan suhu rata-rata hingga 1,3 derajat Celsius, naik dari perkiraan sebelumnya 1,1 atau 1,2 derajat.
Kondisi tersebut mengkhawatirkan karena PBB mengatakan sejumlah target pengurangan gas rumah kaca di berbagai negara masih belum cukup ambisius untuk membuat target kenaikan tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius dapat tercapai. [uh/rs]
Filipina Perintahkan Evakuasi dan Siagakan Tentara untuk Hadapi Topan Yinxing
Filipina telah memerintahkan evakuasi, mengumpulkan persediaan makanan dan menyiagakan tentara untuk persiapan menghadapi Topan Yinxing, kata para pejabat, Selasa (5/11), sewaktu badai ini bergerak menuju kota-kota di bagian timur laut di mana badai ini dapat mendarat minggu ini.
Pusat badai topan yang membawa angin berkecepatan 120 kilometer/jam diperkirakan berada 590 kilometer dari kota Baler di bagian timur provinsi Aurora, ungkap badan cuaca negara bagian, Pag-asa.
Kementerian pemerintah setempat telah menyerukan agar mereka yang berada di komunitas-komunitas terpencil untuk mengungsi terlebih dahulu, karena tim penyelamat mungkin tidak dapat menjangkau mereka selama gempuran badai, kata Menteri Pertahanan Gilberto Teodoro.
“Berbagai lembaga pemerintah telah menggabungkan upaya untuk mengeluarkan peringatan dini, membuat rencana ke depan, dan memposisikan barang dan jasa yang dibutuhkan,” kata Teodoro dalam sebuah pengarahan.
Makanan dikumpulkan, tentara disiagakan untuk membantu upaya penyelamatan, dan bendungan-bendungan melepaskan air lebih awal untuk mencegah banjir, kata para pejabat.
Badai tersebut dapat menghantam daratan antara Kamis malam dan Jumat pagi di sekitar provinsi utara Cagayan, membawa hujan lebat ke kota-kota yang dilaluinya, kata pejabat badan cuaca Nathaniel Servando, meskipun badai tersebut masih dapat berbelok.
Sekitar 24 juta orang dapat terkena dampak langsung dari topan ini, kata pejabat pertahanan sipil Ariel Nepomuceno.
Badai ini merupakan badai ketiga dalam waktu kurang dari satu bulan yang mengancam Filipina, setelah Badai Trami dan Topan Super Kong-rey menghantam pulau utama Luzon dalam beberapa minggu terakhir. Ketiga badai tersebut telah menewaskan 151 orang, dengan 21 orang hilang, menurut data pertahanan sipil.
“Kita telah belajar banyak. Itulah mengapa proses-proses kita telah disesuaikan,” tambah Teodoro.
Sekitar 20 badai tropis menghantam Filipina setiap tahunnya, membawa hujan lebat, angin kencang, dan tanah longsor yang mematikan. [my/ab]
Forum