Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan ada tiga pola kebijakan yang menandakan pemerintahan Joko Widodo otoriter. Ketiga pola itu, menurutnya, menghambat kebebasan sipil, mengabaikan hukum yang berlaku, dan berwatak represif serta mengedepankan pendekatan keamanan.
Selain itu, kata Asfinawati, YLBHI mencatat ada 27 kebijakan pemerintah yang bersifat otoriter sejak 2014 sampai 2020. Salah satunya adalah peraturan pemerintah mengenai pengupahan yang bertentangan dengan Undang-undang Ketenagakerjaan pada 2015.
"Poin berikutnya kita akrab dengan Perppu Ormas yang akhirnya menjadi Undang-undang Ormas yang bisa membubarkan organisasi masyarakat tanpa pengadilan," jelas Asfinawati dalam diskusi online "Tanda-tanda Otoritarianisme Pemerintah", Minggu (14/6).
Sejumlah kebijakan lain pemerintah juga dikritisi YLBHI sebagai memperlemah partai oposisi dengan melawan putusan Mahkamah Agung, menggunakan pasal makar secara sembarangan oleh kepolisian, dan mengembalikan dwi fungsi aparat pertahanan.
Terkait Dwi Fungsi ABRI, Asfinawati mengatakan, TAP MPR NO VI/2020 telah menyebut dwi fungsi ABRI menyebabkan penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Polri, yang mengakibatkan demokrasi tidak berkembang.
"Jadi setidak-tidaknya ada 30 MoU dengan berbagai kementerian. Dan itu tidak masuk akal. Misalnya, ada 8 kepala dinas pertanian menandatangani MoU upaya percepatan pelaksanaan cetak sawah bersama TNI pada 29 Maret 2019," tambah Asfinawati.
Ia meminta pemerintah mencabut kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai hukum dan tidak mengeluarkan kebijakan serupa pada masa mendatang. Selain itu, ia meminta DPR menjalankan fungsi pemerintahan sesuai fungsi dan tugasnya.
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyebut kebijakan-kebijakan yang otoriter terjadi pada masa orde baru. Ia menunjuk dua di antaranya yaitu dwi fungsi aparat dan kriminalisasi warga yang mengkritik pemerintah.
"Ada Undang-undang Ormas, UU Terorisme, UU ITE dan politisasi Polri, dan akhir-akhir ini TNI. (Itu) Berarti pengulangan era orde baru. Kalau dulu TNI sudah berhasil dibersihkan dari dwi fungsi. Sekarang multifungsi dilakukan Polri," jelas Busyro.
Busyro mengusulkan masyarakat sipil memperkuat kerja sama antar organisasi, dan mendorong perubahan Undang-undang yang berpotensi melahirkan pemimpin yang otoriter.
Pembicara lain dalam diskusi itu, akademisi Universitas Indonesia Sri Lestari Wahyuningrum menyebut bentuk otoriter di Indonesia telah berubah dan ia menyebutnya sebagai otoritarianisme gaya baru. Salah satu contoh karakter otoriter gaya baru ini adalah rakyat tidak memiliki kedaulatan dalam pemilihan umum karena ditentukan oleh kelompok tertentu.
Contoh lain, sistem pengawasan dan kontrol antara legislatif dan eksekutif yang tidak berjalan, termasuk pemberian ruang kebebasan berekspresi tetapi diiringi kemudahan tuduhan subversi atau tuduhan hendak menjatuhkan kekuasaan.
"Ada oposisi dan pers. Tetapi oposisi dan kritik itu diberangus. Jadi, sebetulnya tidak ada oposisi. Atau kemudian dikooptasi dengan beberapa cara," papar Sri Lestari.
Pada sisi lain, Sri Lestari juga mendapati partisipasi dan solidaritas masyarakat yang menguat dalam demokrasi. Selain itu, ia menilai, perlawanan politik terhadap sistem yang otoriter juga menguat. Hal itu terlihat dalam kritik yang disampaikan masyarakat di media sosial.
Lestari mengatakan, fenomena kekuasaan yang otoriter tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara Asia lainnya, serta Amerika dan Eropa. [sm/ka]