Ratusan perempuan pada Sabtu (4/3) menggelar aksi yang diberi nama Women's March di depan Istana Negara, Jakarta. Para peserta berasal dari berbagai organisasi nirlaba dan para aktivis perempuan. Ada pula warga kebanyakan dan pelajar/mahasiswa, dan kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).
Sengatan matahari tidak menyurutkan para peserta unjukrasa menirukan slogan yang dikomandokan para orator. Mereka juga membawa sejumlah spanduk, yang antara lain tertulis "Girls Are Not Brides!," "Perempuan Bukan Properti," dan "Jangan Atur Tubuhku." Hiburan musik ikut menyemarakkan unjuk rasa.
Salah seorang aktivis perempuan yang juga Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace, Siti Musdah Mulia mengatakan kaum perempuan di Indonesia meminta pemerintah menghapus semua kekerasan berbasis agama dan diskriminasi dengan alasan apapun.
Perempuan Indonesia, tambahnya, harus bersatu mengedepan Indonesia yang mengutamakan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi satu. Musdah Mulia menekankan perbedaan itu adalah sebuah keindahan. Hal ini ditegaskannya kembali ketika berbicara pada wartawan seusai orasi itu. Ia juga mencontohkan keberadaan ratusan peraturan daerah atau perda syariah yang semakin membuat perempuan merasa terpojok.
"Komnas Perempuan menyebut ada sekitar 400 lebih perda di seluruh Indonesia yang isinya benar-benar menganggap perempuan bukan warga negara penuh. Harus begini, harus begitu. Bahkan kalau di Aceh, nggak boleh mengangkang kalau naik motor. Itu kan terserah perempuannya. Regulasi-regulasi muncul akhir-akhir ini betul-betul memandang perempuan bukan sebagai warga negara penuh," kata Musdah.
Ditambahkannya, perda-perda itu semakin banyak karena kurang lantangnya suara masyarakat madani dan kuatnya sterotip bahwa perda-perda itu merupakan bagian dari aturan agama. Belum lagi sikap pemerintah daerah yang menjadikan perda itu sebagai posisi tawar terhadap kelompok-kelompok intoleran setiap menjelang pilkada.
Musdah Mulia juga mengkritisi pernyataan menteri dalam negeri yang ingin mencabut perda-perda itu, tetapi tidak kunjung mewujudkannya. Padahal jika hal ini dibiarkan terus berlanjut, Indonesia bisa menjadi seperti negara di bawah Taliban, di mana kaum perempuan tidak boleh berada di ruang publik.
Dalam kesempatan yang sama Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Masruchah menyinggung soal meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dalam lima tahun terakhir. Menurutnya berdasarkan laporan yang masuk, rata-rata ada 5.800 kasus setiap tahun, tetapi jumlah ini dinilai bukan angka sesungguhnya karena jumlah korban yang tidak melapor karena takut, malu, tidak didengar dan lain-lain ditengarai lebih besar lagi. Untuk itu Masruchah mengatakan gerakan perempuan harus mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Saya kira negara memang harus merefleksikan kalau negara di tahun 2030 tanda tangan di tingkat internasional soal pembangunan berkelanjutan, salah satunya adalah pembangunan berkeadilan dan anti kekerasan, maka dalam rentang 13 tahun banyak sekali harus dilakukan oleh negara, termasuk negara di tahun ini membahas Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual, itu juga akan berkontribusi terhadap pencapaian di tahun 2030," jelas Masruchah.
Salah satu pelajar yang ikut dalam aksi Women's March, Diah Hanan. Pelajar kelas 2 di SMA 82, Jakarta Selatan ini mengaku tertarik ikut dalam acara tesebut karena masih banyak perempuan yang diperlakukan tidak adil dan ada standar ganda yang diterapkan bagi kaum hawa.
"Harapannya dengan kayak gini semoga banyak orang berubah pola pikirnya, nggak menganggap perempuan sebagai orang yang lemah, nggak ada lagi pelecehan-pelecehan, nggak ada lagi yang menjelek-jelekkan perempuan," kata Diah.
Harapan Diah itu bisa jadi mewakili suara perempuan yang ingin bangkit dan bersuara melawan berbagai persoalan yang masih melilit mereka. [gp]