Malaysia telah menjadi semacam tanah yang menjanjikan bagi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari penyiksaan di Myanmar. Puluhan ribu yang bertahan dalam perjalanan berbahaya untuk sampai ke sini menemukan lebih banyak peluang kerja dibandingkan di Indonesia dan lingkungan yang lebih ramah pada Muslim dibandingkan di Thailand.
Namun dalam kurun 25 tahun sejak Hamid Hussein Abul Khair tiba, janji itu memudar dengan tidak adanya status warga negara dan kemiskinan yang tidak pernah meninggalkannya.
Warga Rohingya menghadapi situasi berat di sini, tidak dapat bekerja secara legal karena Malaysia, seperti Thailand dan Indonesia, tidak mengakui pencari suaka dan pengungsi dan belum menandatangani Konvensi Pengungsi PBB.
Sebagian besar dari mereka bertahan hidup dengan pekerjaan kotor atau berbahaya yang tidak diinginkan warga Malaysia, hidup dalam kondisi jorok dan tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan gratis dan sekolah negeri.
Bagi banyak orang Rohingya, bahkan hidup termarjinalkan di Malaysia merupakan langkah maju. Namun bagi mereka yang telah ada di sana selama bertahun-tahun ingin kehidupan yang lebih baik, setidaknya untuk anak-anak mereka.
"Insya Allah, kita dapat hidup di sini. Kita berterima kasih pada Malaysia tapi masa depan seperti apa yang kita miliki? Anak-anak saya tidak mendapatkan kewarganegaraan, mereka tidak memiliki pendidikan formal, dan mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang pantas," ujar Hamid, 54, di rumah susun sederhana di pinggiran Kuala Lumpur.
Tidak diberikan kewarganegaraan oleh Myanmar dan diusir dari tanahnya dalam kekerasan komunal yang berulang, 1,3 juta orang Rohingya di sana telah diidentifikasi PBB sebagai salah satu minoritas yang paling dianiaya di dunia.
Sekitar 140.000 telah mengungsi dari rumah mereka, dan banyak yang hidup di kamp-kamp. Myanmar menganggap mereka migran ilegal dari Bangladesh, bahkan saat banyak dari mereka telah hidup di negara itu bergenerasi lamanya.
Hampir 46.000 orang Rohingya di Malaysia telah terdaftar sebagai pengungsi oleh badan pengungsi PBB UNHCR, dan diperkirakan ada sekitar 40.000 lainnya dengan status yang masih dikaji. Mendapatkan kartu pengungsi PBB umumnya melindungi orang dari penahanan.
Kesejahteraan ekonomi, budaya Islamis dan besarnya populasi Rohingya di Malaysia merupakan faktor-faktor penarik.
"Dalam hal keamanan, meski tidak mudah karena ada risiko penangkapan dan eksploitasi, situasi masih lebih baik secara signifikan dibandingkan di tempat asal," ujar Richard Towle, perwakilan UNHCR di Malaysia.
Pengungsi Myanmar mencakup porsi terbesar dari lebih dari 150.000 pencari suaka dan pengungsi di Malaysia, salah satu angka tertinggi di Asia, menurut UNHCR. Negara tersebut tidak memiliki kamp pengungsi, jadi mereka hidup sebagai "pengungsi urban" di permukiman kumuh, berdesak-desakan dalam rumah susun murah atau bangunan-bangunan terisolasi dimana mereka bekerja di tempat-tempat konstruksi, restoran, pabrik dan perkebunan.
Nurjan Nur Mohamad, perempuan Rohingya berusia 18 tahun yang tiba di Malaysia dua bulan lalu setelah menempuh perjalanan laut yang berbahaya, mengatakan bahwa meski ia takut ditangkap, ia merasa sangat lega dapat meninggalkan ancaman dan kekerasan di Myanmar.
"Saya takut polisi di sini, tapi ada kedamaian dan cukup makanan. Jauh lebih baik daripada di desa saya," ujarnya. Ia berharap ia dan suami barunya mendapatkan status pengungsi dari UNHCR untuk mendapat perlindungan.
Penempatan Kembali
Sementara itu, Hamid khawatir dengan empat anaknya. Ia dan keluarganya telah mengajukan penempatan di AS atau negara ketiga lewat UNHCR tapi belum mendapat kabar lagi. Ia berharap anak-anaknya akan mendapat kewarganegaraan di Malaysia.
"Saya telah menghabiskan separuh hidup saya di sini. Saya cinta Malaysia tapi setelah 25 tahun, apa yang saya dapat? Saya tidak apa-apa, sudah tua, tapi bagaimana dengan anak-anak saya? Saya tidak ingin mereka menderita seperti saya," ujarnya.
"Harapan kami sekarang adalah pergi ke Amerika supaya mereka dapat menjadi warga negara dan mendapat pendidikan lebih tinggi."
Harapan Hamid disuarakan oleh banyak keluarga Rohingya di Malaysia.
Secara global, hanya 80.000 pengungsi yang ditempatkan kembali setiap tahun, 70 persennya di Amerika. Para pengungsi Myanmar mencakup bagian terbesar, diikuti Irak, Kongo dan Somalia. Tapi banyak dari mereka dari Myanmar berasal dari etnis Chins yang beragama Kristen dan berbahasa Inggris.
Selain AS, sebagian besar negara enggan menampung Muslim Rohingya karena khawatir mereka tidak dapat berintegrasi karena nilai-nilai agama, struktur masyarakat dan isu bahasa, ujar Towle dari UNHCR.
Towle mendesak Malaysia untuk mempertimbangkan pemberian status terlindungi bagi Rohingya dan izin kerja, yang dapat mengurangi kesenjangan dalam angkatan kerja.
"Jika orang-orang yang memang akan terus tinggal di negara ini diberi hak bekerja, mereka akan terbebas dari ekonomi abu-abu dan akan menjadi kontributor yang lebih bermartabat bagi Malaysia," ujarnya.
Namun Malaysia takut membiarkan pengungsi tinggal secara permanen hanya akan mendorong lebih banyak lagi yang datang.
Hamid mengatakan keluarganya menangis melihat manusia-manusia perahu Rohingya di televisi. Ia mengatakan telah memberitahu kerabatnya di Myanmar untuk tidak datang ke Malaysia, terutama karena risiko di laut dan perlakuan dari penyelundup manusia.
"Banyak orang telah meninggal di laut karena dipukuli, kelaparan atau sakit. Sama saja dengan bunuh diri untuk datang ke sini. Lebih baik mati di tanah asal daripada di laut," ujarnya.