Tautan-tautan Akses

UNHCR: Krisis Pengungsi di Seluruh Dunia Semakin Memburuk


Krisis pengungsi terus terjadi di negara-negara yang dilanda konflik atau bencana (foto: ilustrasi).
Krisis pengungsi terus terjadi di negara-negara yang dilanda konflik atau bencana (foto: ilustrasi).

Krisis pengungsi di seluruh dunia semakin memburuk. Menurut PBB, kini ada “tingkat perpindahan manusia tertinggi yang pernah dicatat dalam sejarah.” Didorong oleh konflik dan persekusi, jumlah pengungsi diperkirakan akan semakin meningkat di masa depan, seiring terjadinya perubahan iklim yang mendorong orang mencari penghidupan yang lebih baik.

Aktivis-aktivis pengungsi mengatakan mereka khawatir karena ketika jumlah pengungsi meningkat, negara-negara maju terpaksa mengusir para pengungsi dan pencari suaka sehingga semakin menambah penderitaan mereka.

Konflik dan persekusi terus mendorong orang keluar dari komunitas dan negara mereka tahun 2019 lalu, menambah cakupan krisis pengungsi global ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Juru bicara badan pengungsi PBB (UNHCR), Joung-ah Ghedini-Williams mengatakan, “Jumlah pengungsi mencapai lebih dari 70 juta orang, dan kami melihat terus berkecamuknya perang di Suriah dan Venezuela. Kami telah melihat peningkatan jumlah pengungsi di sejumlah populasi.”

Ditambahkannya, pada tahun 2019 lalu hanya sedikit pengungsi yang kembali ke tanah air mereka karena kondisi yang tidak bersahabat.

Tahun 2019, seperti tahun sebelumnya, pengungsi terbesar adalah warga Suriah, Afghanistan, Sudan Selatan, Rohingya dan Somalia.

Sebagian pakar memperingatkan bahwa perubahan iklim akan menjadi penyebab utama pergerakan penduduk. Pejabat UNHCR mengatakan bencana alam sudah memicu pemindahan berskala besar di negara-negara seperti Sudan Selatan dan Somalia.

“Orang-orang terpaksa mengungsi bukan hanya karena tidak lagi dapat mencari nafkah atau bertani di tanah mereka, tetapi juga karena daerah mereka dilanda kekeringan. Air menjadi senjata yang digunakan kelompok-kelompok militer untuk mengendalikan penduduk,” tambah Joung.

Sementara itu kelompok-kelompok HAM bicara soal “krisis solidaritas ” diantara pengungsi dan negara yang secara historis menyambut mereka. Kelompok-kelompok ini mencatat peningkatan tingkat pengembalian paksa dan repatriasi oleh negara-negara maju.

Bill Frelick di Program Hak-Hak Pengungsi Human Rights Watch mengatakan, “Kurang dukungan langsung melalui bantuan keuangan dan pemukiman kembali. Uni Eropa, Amerika, Australia dan banyak negara kaya lainnya juga telah memblokir para pengungsi.”

Uni Eropa dan sejumlah negara maju juga telah menerapkan apa yang disebut sebagai “kebijakan pencegahan” untuk menekan jumlah pengungsi dan pencari suaka yang berusaha masuk lewat perbatasan mereka.

Kebijakan semacam itu, ujar Frelick, mengirim signyal yang jelas ke negara-negara yang selama ini telah menampung pengungsi dalam jumlah besar – seperti Turki – untuk menolak para pengungsi di perbatasan-perbatasan mereka.

Tahun ini diakhiri dengan solidaritas bersama dalam Forum Pengungsi Dunia UNHCR pertengahan Desember lalu, ketika sejumlah negara, pebisnis dan institusi internasional mengeluarkan lebih dari 770 janji dukungan. Meskipun baru janji, UNHCR berharap hal itu akan menghidupkan kembali komitmen internasional untuk membantu para pengungsi di masa depan. (em/ii)

XS
SM
MD
LG