Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta menyatakan tidak semua korban kekerasan memilih jalur hukum. Ada yang memutuskan solusi lewat jalur mediasi atau perceraian. Lembaga itu juga menyebutkan tidak pernah ada perempuan-perempuan yang mengadu ke LBH Apik karena baru mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya, kekerasan itu sudah dialami bertahun-tahun.
Kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2016 meningkat, menurut laporan yang diterima LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Apik Jakarta. Sepanjang tahun lalu, lembaga nirlaba ini menerima pengaduan 854 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Dalam diskusi di kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Jumat (20/1), Siti Mazumah dari Divisi Pelayanan Hukum LBH Apik menjelaskan dalam lima tahun terakhir puncak kekerasan terhadap perempuan terjadi pada 2013, yakni sebanyak 992 kasus.
"Laporan tahunan kami, di lima tahun terakhir puncaknya adalah di tahun 2013 tertinggi 992. Di tahun 2015 sempat mengalami penurunan 573, kemudian naik lagi di tahun 2016 menjadi 854 kasus. Itu kasus-kasus kami tangani hanya di daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi)," kata Siti Mazumah.
Mazumah menjelaskan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh suami mereka. Kekerasan dalam rumah tangga tambahnya ada empat jenis, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran ekonomi. Berdasarkan kasus-kasus yang ditangani LBH Apik, menurut Mazumah, kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak pernah tunggal.
Dia mengatakan tidak pernah ada perempuan-perempuan yangmengadu ke LBH Apik karena baru mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya, kata Mazumah, kekerasan itu sudah dialami bertahun-tahun. Mereka baru mengadu bila sudah tidak sanggup bertahan lagi.
Dia menambahkan tidak semua perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga memilih jalur hukum. Ada yang memutuskan solusi lewat jalur mediasi atau perceraian.
Selama ini, kata Mazumah, kekerasan dalam rumah tangga selalu menjadi kasus kekerasan terhadap perempuan terbanyak yang ditangani oleh lembaganya. Tahun lalu, terdapat 304 kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Selain itu ada pula kasus kekerasan dalam pacaran (23 kasus), kekerasan seksual (28 kasus), pidana umum (33 kasus), perdata keluarga (98 kasus), ketenagakerjaan (6 kasus), perdata umum (25 kasus), pelanggaran hak dasar (309 kasus) dan lain-lain.
Ahmad Lutfi Firdaus dari Divisi Perubahan Hukum LBH Apik mengatakan LBH Apik memiliki sejumlah rekomendasi kepada pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga berwenang lainnya terkait kasus kekerasan terhadap perempuan. Pertama, segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual, RUU perlindungan tenaga kerja rumah tangga, RUU kesetaraan dan keadilan gender, serta revisi KUHP agar lebih berpihak pada perempuan, korban, serta kelompok rentan dan marginal lainnya.
"Kedua, kami juga merekomendasikan untuk menghapus dan merevisi ketentuan diskriminatif dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Kemudian di KUHP dan KUHAP serta produk aturan dan kebijakan masih melegitimasi pelanggaran HAM dan hak-hak dasar warga negara, termasuk perempuan dan anak. Ketiga, kami juga ingin menegakkan impelementasi UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Undang-undang tindak pidana perdagangan orang, serta aturan positif dan kebijakan lainnya secara maksimal untuk kepentingan korban," kata Ahmad Lutfi.
LBH Apik lanjunya juga menginginkan pemerintah, DPR, dan aparat penegak hukummemberlakukan sistem peradilan pidana terpadu untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk layanan visum gratis serta rumah aman mudah diakses oleh korban.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise meminta penghentian dominasi laki-laki dan kesetaraan bagi perempuan. Menurutnya laki-laki harus memuliakan para perempuan. [fw/gp]