Pemerintah AS maupun Kongres tidak mengeluarkan tindakan apapun meski tenggat untuk menyelesaikan nasib ratusan ribu imigran gelap yang dikenal sebagai "dreamers" atau “pemimpi” sudah berlalu pada Senin (5/3).
Presiden Donald Trump pada September tahun lalu mengumumkan penghentian program perlindungan bagi "dreamers" dengan membatalkan program era Obama yang menangguhkan deportasi terhadap imigran yang dibawa ke Amerika secara ilegal ketika masih anak-anak, yang disebut program DACA.
Tapi Trump memberi Kongres waktu sampai 5 Maret untuk menyampaikan gagasan yang lebih baik atau ia akan "meninjau kembali masalah ini."
Juru bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders pada Senin mengatakan "kegagalan Kongres bertindak sangat buruk," dan menyebut situasinya "menyedihkan."
Tapi fraksi Demokrat menyalahkan Trump dan kepemimpinan Partai Republik karena gagal meloloskan RUU imigrasi apapun di Senat dan ketua DPR Paul Ryan karena tidak memerintahkan agar masalah ini diperdebatkan DPR.
"Tanpa solusi permanen, keputusan Trump yang kejam dan ceroboh akan memisahkan lebih banyak keluarga, menghancurkan komunitas, membuat para imigran bersembunyi, dan membuat kita semua merasa kurang aman," kata Ketua Komite Nasional Partai Demokrat Tom Perez hari Senin.
Tapi lebih dari 700.000 imigran muda ini tidak segera terancam dideportasi.
Mahkamah Agung pada Januari menolak membahas putusan pengadilan yang lebih rendah yang menghalangi Gedung Putih mengakhiri DACA.
Mahkamah Agung diperkirakan tidak akan membahas masalah ini lagi dalam waktu dekat dan Kongres tampaknya tidak terburu-buru untuk mengesahkan RUU apapun terkait dreamers.
Ini memberi kesempatan kepada para imigran muda ilegal yang perlindungannya sudah berakhir untuk mengajukan permohonan perpanjangan dua tahun. [my/ds]