Tautan-tautan Akses

Surga Bagi Mereka yang Meragukan Tuhan


Seorang pendukung berbicara dengan Richard Dawkins, seorang ateis terkenal dan penulis buku terlaris "Rock Beyond Belief" di North Carolina. Selain atheism, terdapat kaum agnostik yang ragu akan keberadaan Tuhan. (Foto: Reuters /Chris Keane)
Seorang pendukung berbicara dengan Richard Dawkins, seorang ateis terkenal dan penulis buku terlaris "Rock Beyond Belief" di North Carolina. Selain atheism, terdapat kaum agnostik yang ragu akan keberadaan Tuhan. (Foto: Reuters /Chris Keane)

Apakah ada jalan keselamatan bagi seorang agnostik? Pertanyaan itu muncul di tengah diskusi “Banyak Jalan Menuju Tuhan, Banyak Jalan Keselamatan” yang diselenggarakan CakNurian Urban Sufism. Jawaban pendeknya, tentu ada. Namun, juga ada syaratnya.

Agnostik adalah kaum yang ragu akan keberadaan Tuhan. Salah satu penyebabnya karena keberadaan Sang Pencipta dianggap tidak dapat dinalar akal manusia. Namun, oleh mereka yang beragama dan percaya keberadaan Tuhan, kaum ini tetap dinilai berhak menikmati keselamatan di akhirat.

Salah satu yang menyatakan hal tersebut adalah Prof Adrianus Sunarko OFM, Uskup Pangkalpinang yang juga pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Uskup Keuskupan Pangkalpinang, Mgr Adrianus Sunarko, OFM. (Foto: Dok Keuskupan Pangkalpinang)
Uskup Keuskupan Pangkalpinang, Mgr Adrianus Sunarko, OFM. (Foto: Dok Keuskupan Pangkalpinang)

“Orang-orang itu waktu di dunia, ketika menolong orang miskin dan lain sebagainya, tidak kenal Yesus, tetapi mereka diterima dalam kerajaan surga, keselamatan. Meskipun mereka tidak tahu, bahwa orang miskin yang mereka layani itu adalah Yesus sendiri,” kata Sunarko dalam diskusi yang diselenggarakan Jumat (18/6) malam.

Orang-orang itu, yang disebut Sunarko dikisahkan adalah serombongan agnostik yang kaget karena dimasukkan surga setelah proses pengadilan di akhirat. Dalam kisah ini dikatakan, karena kaget mereka kemudian bertanya, dan Yesus menjawab bahwa mereka selamat karena menjadi penolong manusia ketika hidup.

“Yesus Kristus mengatakan, karena kalian telah menolong Saya dulu waktu di dunia. Waktu tidak punya pakaian kamu beri Saya pakaian, waktu Saya dipenjara kalian kunjungi Saya di penjara,” lanjut Sunarko.

Dia juga mengatakan, jika memakai rumusan konsili Vatikan kedua, orang-orang yang tidak mengenal Injil tetapi mendengarkan suara hati dan mewujudkannya dalam perbuatan yang nyata juga akan mendapatkan jalan keselamatan.

Prof Syafaatun Almirzanah, Guru Besar Studi Agama-Agama, UINegeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. (Foto: Dok UIN Suka)
Prof Syafaatun Almirzanah, Guru Besar Studi Agama-Agama, UINegeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. (Foto: Dok UIN Suka)

Prof Syafaatun Almirzanah, Guru Besar Studi Agama-Agama, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mengutip kisah yang dituturkan pujangga Islam, Jalaluddin Rumi, ketika menjawab pertanyaan ini. Kisah ini menggambarkan, bahwa Allah sangat sabar, bahkan kepada kaum atheis, tidak hanya pada kaum agnostik.

“Lalu kata Tuhan: Ibrahim, Saya 70 tahun saja sabar sama dia, kamu lima menit saja kok enggak sabar. Atheis saya biarkan hidup, Saya sayang sampai umur 70 tahun. Kamu cuma mau mengajaknya makan lima menit saja kok enggak sabar,” urai Syafaatun.

Kisah ini dikutip Syafaatun dari paparan Rumi terkait kebiasaan Nabi Ibrahim yang selalu mengajak seorang miskin untuk makan bersama. Suatu hari, ketika dia mengajak seorang miskin pulang untuk makan bersama. Di tengah jalan, Ibrahim menanyakan agama orang miskin itu yang lalu menjawab bahwa dia seorang atheis. Ibrahim sempat marah dan akan membatalkan ajakan makan, tetapi kemudian diingatkan Tuhan agar bersabar.

Agama Tetap Berperan

Meskipun banyak kisah tentang kebaikan dan keselamatan di hari akhir, kedua pembicara diskusi ini sepakat bahwa agama tetap memiliki peran.

Syafaatun menegaskan, agama memberi tuntunan bagi seseorang untuk berbuat baik. Meski di sisi lain, menjadi umat beragama tidak otomatis memberinya jaminan keselamatan. Dalam agama Islam, misalnya, ada syarat tertentu agar selamat di akhirat, seperti beriman kepada hari akhir dan berbuat baik.

“Kalau agama bukan sekadar baju, sekadar label atau sekadar keanggotaan saja. Tetapi memang diamalkan apa yang tertulis di dalam tradisi agama itu. Saya kira, agama itu justru akan mengarah, memberikan panduan ke arah keselamatan,” ujarnya.

Di dalam hati, setiap umat beragama harus meyakini bahwa agama pilihannya adalah yang terbaik. Tentu akan menjadi sebuah kebodohan, kata Syafaatun, apabila seseorang memilih agama dan tidak meyakini bahwa itu adalah yang terbaik. Namun, predikat yang terbaik itu adalah untuk diri mereka sendiri. Tidak boleh ada paksaan, bahwa predikat terbaik itu harus diakui oleh orang lain, karena bisa jadi dia memilih agama lain, yang menurut dirinya juga terbaik.

Dua puluhan siswa-siswi dari berbagai agama berkunjung ke GKP Kampung Sawah, Selasa, 30 April 2019. Dalam Wisata Toleransi Kampung Sawah, mereka mengunjungi 5 rumah ibadah dan mengenal ajaran agama yang berbeda. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)
Dua puluhan siswa-siswi dari berbagai agama berkunjung ke GKP Kampung Sawah, Selasa, 30 April 2019. Dalam Wisata Toleransi Kampung Sawah, mereka mengunjungi 5 rumah ibadah dan mengenal ajaran agama yang berbeda. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Syafaatun menyebut konsep agree in disagreement yang pernah disebut pemikir Islam Indonesia Mukti Ali sebagai pedoman. Setiap umat beragama meyakini agamanya yang terbaik, tetapi harus memberi ruang bagi umat agama lain untuk mengatakan hal serupa bagi agamanya.

“Seorang suami harus mengatakan bahwa istrinya adalah perempuan paling cantik, tetapi itu bukan berarti bahwa di luar tidak ada perempuan yang juga cantik,” ujar Syafaatun memberi perumpamaan.

Dalam agama Katolik, kata Prof Adrianus Sunarko OFM, juga ada pandangan bahwa selamat atau tidaknya seseorang di hari akhir, tidak tergantung dari apa agamanya.

“Ada benarnya pernyataan itu, dalam artian tawaran keselamatan itu universal. Dalam perpektif Katolik, untuk orang yang bahkan mungkin tidak mengenal Tuhan pun, tetapi mengikuti kehendaknya melalui suara hati, dapat diselamatkan,” papar Sunarko.

Seorang pengendara motor melewati grafiti yang menyerukan toleransi di Yogyakarta. (Foto: AFP)
Seorang pengendara motor melewati grafiti yang menyerukan toleransi di Yogyakarta. (Foto: AFP)

Namun, Sunarko juga mengingatkan bahwa agama bisa membantu seseorang, mengikuti jalan yang membawa dia pada keselamatan. Syaratnya, agama itu dipahami dan dihayati dengan benar, pokok pokok ajaran yang disampaikan. Hal ini, kata Sunarko, bermakna bahwa tidak benar agama tidak berguna sama sekali.

“Bisa atau bahkan sangat bisa membantu orang, dengan ajaran-ajarannya, dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam agama itu. Praktik-praktik yang sudah dikenal, latihan rohani yang ada. Agama juga bisa membantu manusia menuju jalan keselamatan atau menanggapi tawaran keselamatan dari Allah itu sendiri,” tambahnya.

Beragam Pintu Tuhan

Cendekiawan muslim, Prof Komaruddin Hidayat, mengakui pemahaman seseorang terhadap agama itu secara vertikal bertingkat, dan secara horizontal memang berbeda. Dia menggambarkan hal itu dengan cara menikmati sebuah kota dari bus kota, mobil pribadi, taksi, atau naik helikopter. Masing-masing akan memahami kota itu sesuai dengan cara dia melihatnya.

Karena luasnya pemikiran terkait ini, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia ini berpesan semua orang agar siap menerima perbedaan. Sudut pandang agama terkait suatu isu tertentu, tidak selamanya bisa digambarkan dari pandangan lembaga yang menaunginya.

Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Prof Komaruddin Hidayat. (Foto: VOA/Nurhadi)
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Prof Komaruddin Hidayat. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Ada sikap resmi gereja, tetapi juga banyak sikap pribadi-pribadi, misalnya intelektual yang kadang lebih berpengaruh. Sebagaimana di Indonesia, sikap resmi MUI itu ada, begitu pula sikap para intelektual dan ulama yang tidak tergabung di dalamnya yang berbeda. Bahkan kadang-kadang pendapat individu berpengaruh lebih kuat dibanding suara MUI,” ujar Komaruddin.

Terkait bagaimana manusia memahami agama, keselamatan akhir dan Tuhan, kata Komaruddin, setiap pribadi memiliki cara.

“Pintu menuju Tuhan itu sebanyak hati Anda masing-masing, karena yang meyakini akhirnya kan hati Anda. Pada akhirnya, bagaimana Anda mengetuk pintu Tuhan, itu hanya Anda yang mengetahui,” lanjutnya. [ns/ah]

Recommended

XS
SM
MD
LG