Gus Aan Anshori, tokoh muda Nahdlatul Ulama dari kota santri Jombang dan dosen di Universitas Ciputra Surabaya tidak terkejut dengan temuan dan rekomendasi USCIRF itu karena selama ini dia juga berpendapat bahwa buah sistem pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan agama, cenderung mengarah pada intoleransi. Dia merasa prihatin bahwa kondisi demikian akan sulit dihindarkan karena sistem pendidikan agama tidak memberikan ruang untuk dialog dan tidak inklusif.
“Orang belajar agama tertentu kan dididik dengan cara menegasikan agama yang lain. Itu sudah sangat common, dan itu dianggap sebagai sebuah kebenaran yang pada titik tertentu akhirnya mendorong orang, semakin orang itu berislam, katakanlah, maka semakin ia tidak toleran dengan yang lain. Semakin ia Kristen sangat mungkin ia semakin tidak toleran dengan yang lain. Karena apa? Karena tidak diajari tentang agama yang lain,” tukasnya.
Gus Aan menambahkan, “Bagaimana mungkin kita disuruh mencintai saudara kita yang beragama tidak seperti kita, tetapi kita tidak diberitahu agama tersebut, dan malahan, katakanlah dalam perspektif competitor, agama yang lain itu dijelek-jelekkan agar agama kita itu menjadi unggul.” Menurutnya, kondisi demikian mengemuka karena “jebakan pengajaran agama yang pada titik tertentu di Indonesia hingga kini menyebabkan begitu banyak intoleransi.”
“Cara pandang demikian muncul karena sistem pendidikan agama di Indonesia masih sangat homogen, tidak heterogen. Hal-hal yang jauh lebih substantif, katakanlah berdialog, mencari titik temu, yang paling penting, sudah sangat lama tidak dijamah oleh sistem pendidikan nasional, terutama sistem pendidikan agama yang ada di seluruh struktur sistem pendidikan nasional,” imbuhnya.
Berbeda dari sistem pendidikan nasional, di tataran akar rumput ada individu-individu dan kelompok yang giat melaksanakan pendidikan toleransi bagi umatnya.
Bonnie Andreas adalah pendeta Gereja Kristen Indonesia di Jakarta dan wakil sekretaris umum GKI Sinode Jawa Tengah.
Pendeta Bonnie bersama para pendeta lain dan majelis gerejanya memiliki gagasan untuk memasukkan seorang guru tamu dari agama Islam untuk ikut mengajar katekisasi, yakni pembelajaran bagi peserta – disebut “katekisan” – yang ingin masuk ke dalam pengakuan percaya atau sidi yang di GKI wajib diikuti seminggu sekali selama 9-12 bulan. Dia mengatakan tujuan mengundang pengajar tamu dari agama lain adalah untuk mendidik katekisan agar tidak hanya menjadi orang Kristen yang baik tetapi juga menjadi warga negara Indonesia yang toleran, yang bersahabat dan rukun dengan umat dari agama lain, serta memiliki pemahaman yang baik tentang perlunya interaksi antaragama.
“Buat saya, memaparkan percakapan antaragama itu penting, dalam situasi yang sejuk dan menyenangkan. Percakapan ini adalah sebuah kunci awal yang menurut saya sangat prasastional, sebagai sebuah prasasti yang bisa diteruskan oleh anak-anak didik,” ujar Bonnie.
Selain mengundang guru katekisasi dari agama Islam, Pendeta Bonnie mengatakan bahwa remaja dan pemuda di gerejanya sering dilibatkan dalam kegiatan kunjungan ke gereja-gereja dari denominasi berbeda dan vihara. Mereka juga mengikuti kemah dengan peserta antariman. Dia berpendapat bahwa dialog antaragama dan membangun serta membina persahabatan dengan umat yang berbeda agama secara santai dan bersahabat sangat penting demi kerukunan dalam pluralisme warga Indonesia.
Sebagai pihak yang diundang untuk menjadi pengajar di kelas katekisasi, Gus Aan Anshori bereaksi positif dan menganggap undangan itu sebagai “tantangan sekaligus berkah,” karena dia juga percaya bahwa pluralisme dan dialog antaragama harus dipupuk dan diadvokasi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Gus Aan menganggap keberanian mengundang dirinya sebagai “terobosan” dan dia sendiri juga mempraktekkan gagasan tersebut dengan mengajak para mahasiswa yang tergabung dalam PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) untuk mengunjungi gereja, baik Katolik maupun Protestan, berdialog dengan rohaniwan, dan berinteraksi dengan jemaat gereja-gereja yang dikunjungi.
“Dengan menginklusi kami ke dalam ruang yang sangat personal – ini katekisasi lho – tetapi caranya dibalik oleh Pendeta Bonnie, ini harus dikasih tahu soal Islam supaya mereka bisa meng-embrace soal kasih itu dengan sesungguhnya. Ini menginspirasi saya untuk juga melakukan hal yang sama, misalnya, ketika saya mendidik teman-teman di PMII saya juga mengajari mereka untuk bisa belajar dari kekristenan, mengajak mereka mengunjungi gereja,” kata Gus Aan.
Gus Aan juga berusaha mempertemukan pelajar dari sekolah Kristen dengan pelajar dari madrasah, dengan melakukan kunjungan antarsekolah. Misalnya, dengan dibantu oleh seorang temannya dari Lakpesdam NU Jombang dia mengatur kunjungan siswa-siswi dan guru dari SD Kristen Petra (SDKP) Jombang ke Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah (MII) Plosogenuk, Perak, Jombang, tepat pada Hari Pendidikan Nasional yang lalu.
Gus Aan berpendapat, upaya kunjungan antarsekolah itu perlu dilakukan untuk mendobrak “sekat berbagai macam perbedaan identitas yang kerap membuat anak-anak terpenjara, saling curiga dan mudah mendiskriminasi jika kelak menjadi dewasa.” Mengenai acara pembauran siswa dan guru itu, dia menambahkan, “jika situasi segregatif seperti ini dibiarkan terjadi, maka hal itu akan terus memproduksi individu yang berpotensi terjerat gerakan intoleransi.”
Tentang masa depan pendidikan toleransi yang ideal dalam kebhinekaan di Indonesia, Pendeta Bonnie merasa optimis walaupun mungkin perlu proses lama untuk mencapainya. “Dari perspektif gereja, saya optimis karena ajaran kami mengedepankan persahabatan. Jadi, kami perlu mulai melakukan tindakan nyata, tidak lagi membicarakan, tetapi kami perlu untuk membuka ruang persahabatan, dan kadang mungkin tidak perlu dengan cepat menemukan titik temu. Kadang bersahabat itu dalam kerangka agree to disagree. Di situlah letak persahabatan yang kami sedang upayakan dengan banyak agama di Indonesia.”
Pendapat senada dengan Gus Aan Anshori disampaikan oleh Profesor Peter Suwarno, seorang diaspora Indonesia yang kini mengajar di Arizona State University. Dari wawancara dengan guru dan siswa dalam penelitiannya tentang pembelajaran agama di sekolah-sekolah di Indonesia, dia mendapati bahwa sistem pendidikan agama di Indonesia mengutamakan ibadah ritual.
“Saya mewawancarai beberapa guru mengenai pendidikan moral di Indonesia, dan pendidikan moral itu direalisasikan dalam bentuk pendidikan agama. Setelah saya observasi, saya interview guru, saya interview siswa-siswa juga – ini terlepas dari buku teks dan kurikulumnya – isinya adalah lebih banyak mengenai ibadah ritual,” ujar Suwarno.
Dari penelitiannya, dia menemukan bahwa pendidikan agama itu lebih banyak menekankan produk, dan hasilnya adalah siswa-siswa yang taat beragama yang ditunjukkan dengan rajinnya, kesetiaannya dalam beribadah. Dia mengaku kaget ketika dia mendapati jawaban dari para guru dan siswa mengenai prinsip dan konsep orang baik di Indonesia, ternyata orang yang baik adalah orang yang rajin beribadah. Menurutnya, “buah dari sebuah pengajaran moral atau agama adalah perbuatan baik.”
Suwarno menambahkan, “Kenapa itu menjadi sumber intoleransi? Ya, mau tidak mau, pendidikan agama yang menekankan ibadah ritual mengatakan bahwa ibadah ritual kita yang paling baik, yang lain tidak baik.”
Profesor Suwarno mengatakan bahwa di Amerika memang agama tidak diajarkan di sekolah-sekolah negeri, tetapi pendidikan moral, misalnya, dilaksanakan dengan pelajaran sejarah agama-agama. Dalam pelajaran itu tidak boleh ada yang menyalahkan agama lain, tetapi sebaliknya, siswa dididik untuk mengapresiasi tradisi agama-agama yang berbeda-beda. Siswa juga dituntut belajar dan mempraktekkan prinsip-prinsip, termasuk “honesty (kejujuran), respect (kesopanan), service (pelayanan) yang semuanya mendorong anak didik untuk menunjukkan perbuatan baik yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Namun, Profesor Suwarno tetap optimis dengan masa depan toleransi di Indonesia, terutama setelah mengamati adanya gerakan-gerakan di tingkat akar rumput yang bertujuan untuk mengembangkan, memupuk dan merawat kehidupan yang harmonis dalam semangat pluralisme di bawah payung Bhineka Tunggal Ika.
“Di Indonesia ada peristiwa-peristiwa, misalnya pertemuan berbagai kelompok agama. Di Salatiga, misalnya, ada kelompok di desa Getasan kalau hari raya Idul Fitri banyak orang Kristen mengunjungi desa Muslim dan bersilaturahmi di sana. Sebaliknya, waktu Natal, masyarakat Muslim mendatangi dan bersilaturahmi di tempat orang Kristen. Jadi masih banyak seperti itu,” pungkasnya. [lt/ab]