Tautan-tautan Akses

Situs Jejaring Sosial Lahan yang Subur bagi Pengiklan


Pengiklan mengincar kalangan demografis anak muda yang rajin mengakses media sosial.
Pengiklan mengincar kalangan demografis anak muda yang rajin mengakses media sosial.

Banyak perusahaan menarik pasaran anak muda yang tergila-gila pada situs jejaring sosial, dengan berbagai kampanye iklan yang kreatif.

Bila Anda berjalan di kota besar manapun di dunia, termasuk di Jakarta, kemungkinan besar Anda akan menemukan pemandangan seperti ini: anak-anak muda berkutat dengan smart phone mereka, mengirim tweets dan meng-update status di Facebook, atau mengumumkan lokasi mereka dan mencari lokasi tujuan mereka melalui berbagai apps.

Jadi wajar bila salah seorang eksekutif periklanan di Levi Strauss & Company membidik ranah online melalui berbagai situs jejaring sosial. Tod Gimbel, Kepala Senior Corporate Affairs Levi Strauss & Company, mengatakan perusahaannya mengarahkan kampanyenya ke dunia virtual di mana anak-anak muda sekarang lebih sering berkutat. "Kita ingin mencoba mlakukan sesuatu yang sangat nyata dan tanpa harus disaring," katanya.

Agustus lalu, Levi Strauss meluncurkan koleksi Denizen terbarunya di Singapura.

Yang membuat kampanye Denizen ini unik, Levi's memilih untuk tidak mengambil jalur periklanan tradisional dengan menggunakan model-model cantik untuk mempertunjukkan koleksi mereka. Sebagai gantinya, Levi's memilih 10 anak muda berusia sekitar 20 tahunan dari Hong Kong, Singapura, Korea dan India, yang tidak berpengalaman di bidang fashion, tapi sangat melek media sosial.

Pada dasarnya, Todd Gimbel mengatakan perusahaannya mencari orang-orang yang tepat untuk menciptakan "buzz" mengenai trend terbaru.

"Banyak anak muda menyukai merek tertentu bila mendengar mengenai mereka tersebut dari teman-temannya, dibandingkan bila mereka menerima pesan langsung dari media massa," ujarnya.

Salah satu dari "model" koleksi Denizen, Levi's, adalah Bright, seorang penulis, penari salsa dan blogger dari Bangalore.

Bright, penulis, blogger dan penari salsa dari Bangalore, India, yang direkrut oleh Levi's untuk kampanye Denizen.
Bright, penulis, blogger dan penari salsa dari Bangalore, India, yang direkrut oleh Levi's untuk kampanye Denizen.

"Mereka memilih saya," katanya. "Saya orang biasa yang bahagia dan sempurna dengan ketidaksempurnaan saya."

Sebagai salah satu juru bicara Denizen, Bright menghabiskan waktu 12 jam perhari untuk menjawab berbagai pertanyaan dan membahas mengenai koleksi Denizen.

"Mereka mengenai produk-produk Denizen melalui saya," kata Bright. "Teman-teman saya menanyakan tentang detail-detail produk dan di mana mereka dapat mendapatkannya."

Satu lagi alasan Bright menerima begitu banyak pertanyaan tentang produk yang ia promosikan adalah karena mereka percaya dengan penilaiannya.

"Saya rasa mereka menghargai opini saya tentang berbagai hal dan produk. Dan mereka juga ingin mengecek produknya karena rasa penasaran mereka yang tinggi," katanya.

Itulah mengapa Tod Gimbel dan eksekutif Levi Strauss lainnya ingin dengar.

Dan persis hal itulah, yang ingin didengar oleh Tod Gimbel dan eksekutif Levi Strauss ingin dengar.

Untuk membayar para bloggernya yang menulis satu posting perhari, Levi Strauss memberikan mereka pakaian gratis dan biaya perjalanan.

Dan perusahaan ini tidak melupakan cara-cara lama seperti iklan di televisi dan majalah.

Dibandingkan dengan anggaran untuk iklan tradisional, dana yang Levi's kucurkan relatif cukup kecil dibandingkan dengan biaya beriklan di media-media lain. Tetapi, menurut para pakar, hasil dari investasi yang relatif kecil tersebut dapat memberi dampak yang cukup besar.

"Kami melihat perubahan signifikan dalam pola konsumsi masyarakat media," kata David Michael, peneliti sebuah studi mengenai penggunaan internet di negara-negara dengan ekonomi yang berkembang. Kurangnya kredibilitas media lain, menghasilkan ketergantungan yang besar terhadap opini via blog ataupun dari mulut ke mulut via internet."

Penggunaan media sosial melonjak tajam. Di Tiongkok, lebih dari 100 juta orang menggunakan media sosial, sementara Facebook dan situs-situs sejenisnya merajalela di Indonesia dan India.

"Kita berada di awal sebuah revolusi di mana orang-orang menggunakan smart phone, telepon semakin canggih dan terkoneksi langsung pada internet," kata Michael, menekankan pada perkembangan teknologi yang akan semakin melambung.

Di Amerika Serikat sudah banyak yang menerapkan teknik pemasaran dengan media sosial, di mana Proctor and Gamble mencetak sebuah iklan yang menjadi hit online bagi salah satu produknya Old Spice.

Proctor and Gamble mengatakan iklan yang ditargetkan bagi pasar Amerika Serikat tersebut, bahkan turut menciptakan "buzz" di Inggris, Australia dan Timur Tengah. Eksekutif Proctor dan Gamble, Mike Norton, mengatakan bahwa yang paling penting, kampanye iklanya online mengubah persepsi masyarakat mengenai merek Old Spice.

"Kami menarik masyarakat dengan cara-cara yang tidak hanya menghibur, tapi juga tetap relevan, memiliki daya tarik humor dan akan membekas di benak mereka," katanya.

Tidak seperti kampanye di media tradisional di mana perusahaan membuat iklan dan masyarakat mengkonsumsinya, kampanye Old Spice terbaru bersifat interaktif sepenuhnya. Perusahaan ini mengajak masyarakat untuk mengirimkan pertanyaan mereka kepada juru bicara Old Spice, Isaiah Mustafa, yang kemudian menjawab pertanyaan tersebut di YouTube.

Menurut Proctor dan Gamble, hasil dari kampanye tersebut cukup mencengangkan. Mereka mengatakan sekitar 1,5 milyar orang di dunia telah menonton iklan-iklan Old Spice tersebut di televisi dan online, dan penjualan telah melonjak, menjadikan Old Spice sebagai mereka body wash terlaris di AS.

Yinou Wang, 'model' Levi's dari Tiongkok.
Yinou Wang, 'model' Levi's dari Tiongkok.

Levi Strauss & Company berharap kampanye Denizen mereka lewat media sosial dapat menjadi jembatan dari perbedaan satu negara ke negara lainnya melalui bantuan kesepuluh bloggernya dari berbagai negara, termasuk Yinou Wang dari Tiongkok.

"Saya bukan bintang besar maupun model," ujar Wang. "Tapi saya membuat orang merasa 'wow,' merek ini benar-benar dekat dengan kehidupan mereka."

Yinou, seorang pelajar film di Singapura, mengatakan ia sebelumnya belum pernah mendengar kampanye Denizen sebelum ia bergabung. Wang mengaku ia suka baju-baju yang kasual tapi trendy, sama dengan teman-temannya di Tiongkok.

"Teman-teman saya suka posting saya, karena saya teman mereka," kata Wang.

Teman-teman Yinou di Tiongkok tidak memiliki akses terhadap situs jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. Tapi Wang dapat memasang posting-nya di situs-situs lain yang tidak diblokir pemerintah di Tiongkok. Menurut Wang, walaupun banyak sensor di negaranya, ini tidak menjadi penghalang bagi anak-anak muda Tiongkok untuk aktif di berbagai media sosial.

Akankah periklanan via media sosial merajalela di seluruh dunia? Menurut Profesor Brian Sheehan dari Syracuse University, itu sangat mungkin.

"Bila Anda dapat menemukan sebuah komunitas yang berbagai minat dan produk ataupun jasa yang Anda jual sesuai dengan minat tersebut, Anda dapat membidik kelompok umur manapun di media online," ujar Sheehan.

Tetapi Sheehan juga menganjurkan para pengiklan untuk menyesuaikan masing-masing iklan sesuai dengan latar belakang budaya masing-masing target pasar. "Budaya menjadi unsur yang semakin penting," ujarnya. "Walaupun iklan tersebut dapat diakses dari tempat manapun di dunia, mereka hanya menyerap pesan yang sesuai dengan budaya mereka."

XS
SM
MD
LG