Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un tampaknya memanfaatkan pertemuan puncak yang banyak digembar-gemborkan minggu ini dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk memperketat kendalinya atas Moskow yang sedang berjuang menghadapi sanksi-sanksi internasional dan perekonomian yang terpuruk pasca pandemi, kata para analis.
Putin dan Kim bertemu pada Rabu (13/9) di Kosmodrom Vostochny, fasilitas peluncuran roket di Rusia Timur Jauh, untuk pertemuan puncak pertama mereka dalam lebih dari empat tahun.
Kantor Berita Pusat resmi Korea Utara, KCNA, mengatakan Putin dan Kim berjanji untuk memperkuat “kerja sama strategis dan taktis” tanpa memberikan perincian lebih lanjut.
Kekhawatiran AS atas kesepakatan senjata
Washington mencurigai Pyongyang mungkin memasok amunisi kepada Moskow untuk mendukung perangnya di Ukraina sebagai imbalan atas bantuan Moskow dalam mengatasi hambatan teknis penting dalam pembuatan rudal balistik antarbenua, kapal selam bertenaga nuklir, dan satelit pengintaian militer.
Setelah pertemuan tersebut, Amerika Serikat (AS) memperingatkan Korea Utara agar tidak memasok senjata ke Rusia.
“Tidak ada negara di dunia ini, tidak ada seorang pun yang boleh membantu Putin membunuh warga Ukraina yang tidak bersalah. Dan jika mereka memutuskan untuk melanjutkan kesepakatan senjata, tentu saja kami akan mengambil tindakan dan menanganinya dengan tepat,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby kepada wartawan pada Rabu.
Namun para analis mengatakan Kim mungkin mencari lebih dari sekedar bantuan teknis dalam program senjatanya.
Seong Ok Yoo, mantan pejabat intelijen Korea Selatan yang banyak berurusan dengan Korea Utara, mengatakan Kim mencoba menggunakan pertemuan puncak tersebut sebagai alat propaganda untuk meningkatkan citranya secara global sambil mengupayakan persatuan internal yang lebih besar.
“Kim tengah mencari pengakuan internasional. Dia yakin bisa mendorong AS agar melunakkan sikap terhadapnya dengan menggembar-gemborkan kehadirannya (di Rusia),” kata Yoo, yang memainkan peran penting dalam pertemuan puncak antar-Korea pada tahun 2007.
“Dia ingin memastikan AS menanggapi (kerja samanya dengan Rusia) dengan serius,” tambah Yoo.
Kim menerapkan strategi pendahulunya
Jong Dae Shin, seorang profesor di Universitas Studi Korea Utara di Seoul, mengatakan bahwa menggunakan acara internasional sebagai alat untuk mengendalikan suatu negara adalah praktik (strategi) yang sudah lama dilakukan oleh anggota dinasti Kim yang berkuasa di Korea Utara.
Bagi negara seperti Korea Utara, yang telah terisolasi selama beberapa dekade karena sanksi berat, strategi pemerintahan yang tegas telah membantu rezim dengan memperkuat kembali loyalitas dan pengabdian di antara warganya, menurut Shin.
Shin mengatakan Kim tampaknya mengikuti jejak para pendahulunya.
Bagi Kim, peluang serius untuk meningkatkan posisinya datang pada tahun 2018, ketika ia memulai pemulihan hubungan melalui serangkaian pertemuan puncak dengan para pemimpin China, Korea Selatan, dan AS.
Puncak diplomasi Kim pada pertemuan internasional sebelumnya adalah pertemuan bersejarah dengan mantan Presiden Donald Trump pada Juni 2018 di Singapura, yang pada saat itu banyak dipuji sebagai kemungkinan "jalan menuju perdamaian" di Semenanjung Korea.
Kedua pemimpin bertemu kembali pada Februari 2019 di Hanoi, Vietnam, untuk pertemuan puncak kedua mereka, tetapi gagal mencapai kesepakatan.
Para analis mengatakan perkembangan geopolitik baru-baru ini, termasuk invasi Rusia ke Ukraina dan persaingan strategis AS-China, memberi Kim peluang lain untuk mendongkrak citranya.
Menurut mereka, Kim melihat peluang emas untuk memajukan program senjata negaranya dengan sedikit dampak dan meningkatkan pengaruhnya terhadap Rusia dan China, yang berselisih dengan AS.
Pada 2022, Korea Utara melakukan sejumlah uji coba rudal yang melanggar berbagai sanksi PBB.
Namun Dewan Keamanan PBB gagal mengambil tindakan karena adanya keberatan dari Rusia dan China, yang memiliki hak veto.
Pada Desember 2017, dewan tersebut mengeluarkan sanksi keras terhadap Korea Utara sebagai tanggapan atas peluncuran rudal balistik antarbenua oleh Pyongyang dengan dukungan Rusia dan China.
Meningkatkan pengaruh Pyongyang
Yoo yakin pengaruh Korea Utara terhadap Rusia meningkat karena konfrontasi Moskow dengan Washington terkait perang di Ukraina.
“Ada pembalikan posisi dari KTT (konferensi tingkat tinggi) sebelumnya,” kata Yoo merujuk pada KTT antara Rusia dan Korea Utara pada April 2019.
Pada saat itu (April 2019, red.), Kim meminta dukungan diplomatis kepada Putin setelah pertemuan puncaknya dengan Trump yang gagal, tetapi kini Rusia, yang haus akan amunisi, justru yang menghubungi Kim, menurut Yoo.
“Pada 2019, Kim tidak punya pilihan selain mengandalkan Putin untuk keluar dari isolasi diplomatik. Sekarang ini, Kim yang memegang kendali,” kata Cho Han-Bum, peneliti senior di Institut Unifikasi Nasional Korea.
Liputan berita internasional mengenai pertemuan puncak terbaru antara Putin dan Kim menggarisbawahi sambutan mewah yang disiapkan Putin untuk pemimpin Korea Utara.
Beberapa outlet berita Korea Selatan memberitakan bahwa Putin, yang dikenal sering datang terlambat saat pertemuan dengan para pemimpin asing, menunggu Kim selama 30 menit di tempat pertemuan.
Kantor berita Associated Press melaporkan Putin menyapa Kim dengan jabat tangan erat selama sekitar 40 detik.
Media pemerintah Korea Utara memuji pertemuan puncak tersebut sebagai “tonggak baru” bagi perkembangan hubungan antara Pyongyang dan Moskow.
Kim hadapi masalah internal
KTT Putin-Kim minggu ini berlangsung ketika Korea Utara tampaknya menghadapi masalah kekurangan pangan yang parah.
Elizabeth Salmon, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak asasi manusia Korea Utara, mengatakan pada pertemuan Dewan Keamanan bulan lalu bahwa beberapa orang sekarat “akibat malnutrisi, penyakit, dan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan.”
Pada Maret, anggota parlemen Korea Selatan yang diberi pengarahan oleh badan intelijen utama negara tersebut mengatakan kepada wartawan bahwa ada lonjakan kematian akibat kelaparan dan bunuh diri yang dipicu oleh kekurangan pangan yang akut.
Intae Kim, mantan pembelot Korea Utara yang kini menjadi kepala peneliti di Institute for National Security Strategy (INSS), sebuah wadah pemikir yang dijalankan oleh Badan Intelijen Nasional Korea Selatan, mengatakan Kim telah menerapkan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperluas nuklir. pembangunan secara serentak sejak ia mengambil alih kekuasaan pada Desember 2011.
Meskipun pemimpin Korea Utara telah memajukan program nuklir negaranya, rencana ekonominya telah gagal total, menurut Intae Kim.
Sementara, Cha Du Hyeogn, peneliti utama di Asan Institute Korea Selatan, mengatakan Kim mencoba mengirim pesan kepada rakyatnya melalui pertemuan puncak terbaru bahwa ia bekerja keras untuk menyelamatkan perekonomian negara yang lumpuh akibat sanksi, pandemi, dan bencana alam.
Keputusan Kim untuk naik kereta lambat dalam perjalanannya dibandingkan penerbangan singkat mungkin merupakan upaya untuk menyampaikan pesan tersebut, menurut Cha.
“Perjalanan kereta api mengingatkan saya pada perjalanannya ke Hanoi,” kata Cha, mengacu pada pertemuan puncak kedua Kim dengan Trump.
Saat itu, Kim menempuh perjalanan kereta api selama 60 jam untuk menghadiri KTT (di Hanoi).
“Kim mungkin bermaksud untuk mempromosikan citranya sebagai seorang pemimpin yang bersedia melakukan perjalanan panjang demi rakyatnya,” kata Cha. [pp/ft]
Forum