Kegiatan International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional untuk Maret ini menunjukkan mengapa pengadilan yang berpusat di Den Haag itu tetap menjadi institusi yang sangat terpecah, 20 tahun setelah pembentukannya.
Tiga putusan banding pekan depan terkait kekejaman di Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, dan serangan terhadap kekayaan budaya di Timbuktu, Mali. Masih dalam bulan ini, ada sidang lanjutan Dominic Ongwen, mantan tentara anak dan komandan senior gerakan pemberontak Tentara Perlawanan Tuhan di Uganda.
Selama bertahun-tahun, ICC dituduh terlalu berfokus dan tidak adil terhadap Afrika. Institusi ini juga dinilai sangat lamban, tidak efisien dan mahal. Beberapa negara terbesar di dunia, termasuk Amerika, China dan Rusia, bukanlah anggota ICC, sehingga melemahkan kredibilitas institusi tersebut. Baru-baru ini, pengadilan itu memulai penyidikan internal atas transaksi yang dipertanyakan antara pegawai pengadilan itu dan mantan jaksanya, Luis Moreno Ocampo.
Tetapi, saat merayakan ulang tahun ke-20, ada tanda-tanda institusi yang dibentuk berdasar Statuta Roma itu memperluas ruang lingkup, walaupun kontroversi seputarnya tidak berkurang.
Pendukung ICC berpendapat keberadaan dan mandat mahkamah itu mencakup beberapa kejahatan paling keji di planet ini, yang dilakukan di negara-negara tanpa sarana atau kemauan memberi keadilan, tak terhindarkan menjadikannya penghalang, dan anggarannya, sebenarnya, tidak bisa menutupi mandat yang berat itu. [ka/al]