Selandia Baru, Senin (22/7), memperkenalkan putaran kedua larangan kepemilikan senjata, setelah penembakan mematikan di dua masjid di kota Christchurch awal tahun ini.
Aturan baru itu termasuk mengadakan pendaftaran senjata, larangan pembelian senjata oleh pengunjung asing dan mengharuskan pemilik senjata untuk memperbarui izin pemilikan setiap lima tahun, bukan 10 tahun seperti sebelumnya.
Perubahan yang diusulkan itu akan "diabadikan dalam hukum, bahwa memiliki senjata api adalah hak istimewa" dan bukanlah suatu hak (warga negara), kata Perdana Menteri Jacinda Ardern.
Pemerintah Selandia Baru bergerak cepat setelah serangan pada Maret yang menewaskan 51 orang dan melukai puluhan lainnya. Enam hari setelah serangan itu, PM Ardern mengumumkan larangan senjata semiotomatis, termasuk tipe yang digunakan oleh pria bersenjata dalam serangan itu.
Sejak itu pemerintah telah meluncurkan program pembelian kembali senjata, dengan memberi kompensasi kepada pemilik senjata semi-otomatis yang dilarang. Sejauh ini lebih dari 3.200 senjata telah dikumpulkan dan dihancurkan. Pembelian kembali senjata dan pemberian amnesti berlangsung hingga Desember.
Kepala Kepolisian Selandia Baru, Stuart Nash mengatakan, RUU baru itu akan memungkinkan polisi memantau akun media sosial masyarakat untuk menentukan apakah mereka layak memiliki senjata.
RUU baru ini akan diajukan ke Parlemen bulan depan. Setelah itu, publik akan diberi kesempatan untuk memberikan pendapat mereka soal RUU itu selama tiga bulan, sebelum diadakan pemungutan suara oleh parlemen. [ps/pp]