Bila semua berjalan mulus, Indonesia akan menggelar pesta demokrasi pada 14 Februari 2024. Perhelatan tersebut akan menjadi pemilihan umum (pemilu) ke-13 sejak Indonesia merdeka pada 1945.
Dalam rentang usia 78 tahun perjalanan republik ini, pelaksanaan pemungutan suara mengalami transformasi yang signifikan. Selama lebih dari tujuh dasawars, pesta demokrasi ini biasanya berlangsung damai, tapi tak jarang juga menimbulkan kericuhan.
Evolusi pemilu di Indonesia mencerminkan dinamika kehidupan politik yang kompleks. Dimulai dengan pemilu perdana pada 1955 yang ditandai oleh partipasi banyak partai politik, pemilu ini dinilai sebagai pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Lalu di era Orde Baru, puluhan partai dikonsolidasi menjadi hanya tiga partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golkar yang saat itu berafiliasi dengan Presiden Suharto selalu memenangi setiap pemilu. Di era reformasi, puluhan partai kembali bermunculan usai tumbangnya Orde Baru.
Berikut adalah gambaran perjalanan pesta demokrasi Indonesia dari masa ke masa yang menentukan wajah politik, ekonomi dan bangsa di salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Pemilu 1955: Eksperimen Demokrasi
Berdasarkan data Statistik Pemilu 2019 dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia menggelar pemilu perdana pada pada 1955. Saat itu pemilu digelar dua kali. Pemilu pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilaksanakan pada September. Pemilu kedua untuk memilih anggota Konstituante, diikuti oleh 30 partai, digelar tiga bulan kemudian pada Desember.
Empat partai mendominasi perolehan suara terbanyak pada saat itu adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 22.32 persen suara; Masyumi menyusul dengan 20.92 persen, Nahadlatul Ulama (NU) di peringkat ketiga dengan 18,41 persen dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 16,36 persen. Menurut statistik, jumlah suara gabungan keempat partai mencapai 78,01 persen.
Ahli Indonesia berkebangsaan Australia, mendiang Profesor Herbet Feith, dalam bukunya “Pemilihan Umum 1955 di Indonesia” yang terbit pada 1999, menyebut pemilu 1955 tersebut sebagai “eksperimen demokrasi.” Pasalnya Indonesia, yang masih seumur jagung saat itu, disebut hampir tidak memiliki pengalaman berdemokrasi.
Meski pelaksanaannya masih jauh dari sempurna, Feith, meraih gelar doktor dari Cornell University Australia pada 1954, memuji Pemilu 1955 sebagai pemilihan nasional yang sukses. Ia menggarisbawahi keberhasilan tersebut telah mematahkan anggapan sejumlah pihak bahwa Indonesia belum mampu menjalankan pemerintahannya sendiri.
Orde Baru (1971-1997): Golkar Berjaya
Usai Pemilu 1955, Indonesia memasuki masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemimpin yang berkuasa hingga 32 tahun ini dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1968.
Dalam kurun 1971-1997, Indonesia tercatat menyelenggarakan enam kali pemungutan suara untuk memilih anggota DPR. Data Lembaga Pemilihan Umum, penyelenggara pemilu pada saat itu, menyebutkan pemilu 1971 diikuti oleh sembilan partai dan satu organisasi masyarakat (ormas), yaitu Golongan Karya (Golkar). Golkar, yang didukung pemerintah berhasil menang telak dengan mengantongi 62,82 persen suara. Sementara suara lainnya terbagi antara NU (18,68 persen), Partai Nasional Indonesia (6,93 persen) dan Partai Persaudaraan Muslimin Indonesia (5,36 persen).
Pada Pemilu 1977, kontestan pemilu yang berjumlah 10 partai menjadi tiga partai melalui Fusi 1973: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Keberadaan trio partai ini tetap terus berjalan hingga Pemilu 1997.
Selama tiga dasawarsa, Golkar menjadi mesin politik Pemerintahan Orde Baru dengan selalu meraup suara terbanyak dalam setiap pemilu. Berdasarkan data BPS, perolehan suara Golkar sepanjang periode Orde Baru sebagai berikut 1977 (62,11 persen), 1982 (64,34 persen), 1987 (73,11 persen), 1992 (68,05 persen), dan 1997 (75,17 persen)
Era Reformasi (1999): Kunci Reformasi
Pemilu 1999 merupakan peristiwa kunci proses reformasi pasca-Orde Baru. Pada 1998, Presiden Soeharto lengser pada akibat krisis ekonomi yang melambungkan harga bahan pokok sehingga memicu demonstrasi anti-Suharto. Wakil Presiden BJ. Habibie kemudian mengambil alih kepemimpinan negara dan memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan pemilu dari 2002 menjadi 1999. Pada tahun itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk sebagai menjadi penyelenggara resmi pemilu.
Euforia reformasi mendorong lahirnya puluhan partai di Tanah Air sehingga Pemilu 1999 tercatat diikuti oleh 48 partai. Lima partai besar, yaitu di antaranya PDI-P, Golkar, dan PPP. berhasil memborong 417 kursi DPR dari 462 kursi yang diperebutkan. Banyak partai yang gagal memperoleh kursi di DPR. Melalui pemilu tersebut lahir lah partai-partai yang cukup dikenal, antara lain Partai Demokrat, Partai Keadilan Sosial (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Hasil pemilu ini memberikan kekuatan politik yang signifikan kepada partai-partai yang mendukung reformasi. PDI-P yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri berhasil meraup suara terbanyak. Meskipun PDI-P berhasil memenangkan pemilu legislatif, MPR menetapkan Abdurrahman Wahid -- yang akrab dipanggil Gus Dur-- dari PKB sebagai presiden, bersama dengan Megawati Sukarnoputri sebagai wakil presiden.
Pasangan tersebut tidak menyelesaikan masa jabatannya karena Sidang Istimewa MPR memutuskan untuk melengserkan Gus Dur, dan menunjuk Megawati yang wakil presiden sebagai presiden pada 2001. Di bawah kepemimpinannya, Megawati berduet dengan Hamzah Haz, sebagai wakil presiden.
Pemilu 2004-2019: Pemilihan Langsung
Pemilu 2004 juga mencatatkan tonggak sejarah dalam demokrasi Indonesia karena presiden, wakil presiden, anggota DPR, dan DPRD untuk pertama kalinya dipilih secara langsung. Sebanyak 24 partai tercatat ikut serta dan diselenggarakan dalam dua putaran. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Partai Demokrat dan Jusuf Kalla dari Golkar akhirnya berhasil meraih kemenangan, mengalahkan empat pasangan lainnya, pada putaran kedua.
SBY kembali mencalonkan diri untuk masa jabatan keduanya sebagai presiden pada pemilu 2009, dengan menggandeng mantan menteri keuangan Boediono. Pemilu tersebut diikuti oleh 44 partai politik dan tiga pasang capres dan cawapres yang bersaing untuk meraih dukungan masyarakat. Meski demikian, SBY dengan mudah melenggang kembali ke Istana Negara untuk periode kedua lewat satu putaran.
Pemilu 2009 juga mencatat keikutsertaan partai lokal di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dalam pemilu legislative lokal. Menurut data Perpustakaan Nasional, ada enam partai Aceh yang mengikut pemilu yaitu Partai Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Bersatu Aceh, Partai Daulat Aceh, Partai Rakyat Aceh, dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (Partai SIRA).
Pemilu 2014 diikuti oleh 12 partai politik. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil meraih kemenangan telak lewat satu putaran. Dukungan bagi kemenangan mereka datang dari beberapa partai, termasuk PDI-P, PKB, dan Partai Nasional Demokrat (NasDem). Meski demikian, massa pendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa merasa tidak puas atas kemenangan tersebut sehingga mendorong terjadinya kericuhan dan memerlukan penanganan keamanan yang intensif.
Pemilu 2019 diikuit oleh 16 partai, sedangkan dalam pilpres, Jokowi dan Prabowo kembali berhadapan. Mengulang sejarah Pemilu 2014, Jokowi kembali memenangkan pertarungan dalam satu putaran, kali ini berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Keberhasilan Jokowi ini mencerminkan prestasi dua periode sebelumnya yang mirip dengan pencapaian SBY. Namun, Pemilu 2019 juga diwarnai oleh tinta merah akibat kerusuhan yang meluas pasca-pengumuman rekapitulasi suara oleh KPU. [ah/ft/dw]
Forum