Pemerintah China akhir tahun 2017 telah menghentikan hampir semua impor sampah kering termasuk plastik, kertas, botol dan kaleng-kaleng minuman ringan karena dianggap tidak lagi menguntungkan untuk didaur-ulang. Lalu kemana perginya sampah-sampah yang dihasilkan oleh banyak negara industri itu?
John Hocevar adalah Ocean Campaign Director Kelompok lingkungan Greenpeace. Ia mengatakan kepada VOA, “Indonesia dan China adalah dua negara yang paling banyak menghasilkan polusi plastik dalam tahun-tahun belakangan ini. Tapi kita juga harus ingat bahwa banyak dari sampah plastik yang datang dari kedua negara itu dihasilkan sebagai bahan-bahan pembungkus oleh perusahaan-perusahaan yang berpusat di Eropa dan Amerika. Jadi ini adalah tanggung jawab kita bersama.”
Amerika pernah mengekspor 70 persen dari sampah plastiknya ke China, tapi ketika pemerintah China menghentikan impor bahan-bahan itu untuk didaur-ulang, kita baru sadar bahwa kita tidak punya kemampuan untuk menanggulangi sampah yang kita ciptakan itu, kata Hocevar.
“Setahun setelah China tidak lagi menerima kiriman sampah, Amerika berpaling ke negara-negara lain, kebanyakan di Asia Tenggara,” lanjutnya.
Menurut John Hocevar, negara yang paling banyak menerima sampah dari Amerika kini adalah Malaysia, lebih dari 7.000 ton, kemudian Thailand, di mana ekspor sampah Amerika melonjak hampir 2.000 persen. Negara lain yang diincar Amerika untuk menampung sumpahnya adalah Vietnam dan Korea Selatan, ujarnya.
Kata juru bicara Badan Perlindungan Alam Amerika, atau EPA, Amerika mengekspor kira-kira 15,4 juta ton sampah tahun 2017 untuk didaur ulang di China. Ini termasuk besi bekas, kertas dan karton, tembaga, nikel, aluminium, timah, plastik, dan karet.
Dalam sebuah pernyataan kepada VOA, EPA mengatakan banyak dari sampah itu kini diekspor ke India, Malaysia, Indonesia, Thailand, Kanada dan ke sejumlah negara lain. Jumlah ekspor ke negara-negara itu tergantung dari jenis sampahnya.
Penghentian ekspor sampah untuk didaur-ulang di China itu telah mengakibatkan dampak beruntun di Amerika, karena banyak kota terpaksa menghentikan program pengumpulan bahan-bahan bekas. Kata penjelasan jurubicara EPA lagi, banyak pihak yang berkepentingan dengan daur-ulang telah menyatakan keprihatinan kepada EPA karena larangan impor sampah oleh pemerintah China itu.
Namun, tambahnya, banyak industri daur ulang, pemerintah lokal dan negara bagian yang melihat hal ini sebagai kesempatan untuk mengupgrade atau meningkatkan usaha daur ulang dalam negeri.
Ini pada gilirannya akan menciptakan lapangan kerja dan menambah penggunaan bahan-bahan bekas dalam industri manufakturing, kata EPA.
Sementara itu, banyak perusahaan yang selama ini bertugas mengumpulkan dan mendaur-ulang sampah, kini membuangnya ke tempat-tempat pembuangan sampah yang disebut landfill atau membakarnya.
Tapi, pembakaran sampah plastik yang terbuat dari minyak bumi itu akan menimbulkan polusi, dan sampah plastik yang ditimbun di bukit sampah tidak akan terurai sampai ratusan tahun. (ii)