Pemerintah China tahun lalu memutuskan secara drastis mengurangi impor sampah untuk di daur-ulang, dan akibatnya, banyak sampah plastik dan kertas kini di ekspor ke negara-negara yang sebetulnya tidak punya fasilitas dan kapasitas untuk itu.
Kira-kira 70 persen dari sampah plastik dunia tadinya di jual ke China. Jumlah itu mencapai tujuh juta ton per tahun. Ketika proyek daur-ulang itu dimulai di China tahun 1995 banyak pengusaha China menjadi jutawan, seperti Zhang Yin yang membuka usaha bernama Nine Dragons, atau Sembilan Naga.
Salah satu hal yang memungkinkan ekspor sampah besar-besaran ke China itu adalah banyaknya kontainer atau peti kemas kosong yang terkumpul di pelabuhan-pelabuhan besar di Pantai Barat Amerika. Kontainer itu tadinya berisi barang-barang konsumen yang banyak diimpor oleh Amerika.
Daripada kembali kosong, sejumlah pengusaha memanfaatkannya dengan mengisi peti-peti kemas itu dengan sampah plastik dan kertas bekas untuk di daur-ulang di China, yang 20 tahun lalu punya banyak buruh murah dan mampu mendaur-ulang barang-barang bekas itu menjadi barang-barang konsumen yang baru.
Tahun 2016, Amerika saja mengekspor 700.000 ton sampah kertas dan plastik ke China, tapi lima tahun lalu pemerintah di Beijing mulai khawatir karena besarnya arus sampah yang masuk ke negara itu, karena banyak sampah itu bercampur dengan bahan-bahan lain yang tidak bisa didaur –ulang. Tahun lalu pemerintah China telah mengurangi impor sampahnya menjadi kurang dari satu persen dari jumlah tahun 2016.
Sampah plastik yang melimpah itu akhirnya diekspor ke Thailand, Indonesia dan Vietnam. Tapi kini, Malaysia dan Vietnam juga mulai mengurangi impor sumpahnya, karena fasilitas daur-ulang mereka kewalahan. Banyak sampah plastik akhirnya di buang ke tempat timbunan sampah atau dibakar, yang pada gilirannya menimbulkan polusi di negara pengimpor sampah itu.
Stiv Wilson adalah aktivis lingkungan yang bekerja dengan kelompok lingkungan Ecoton di dekat Surabaya. Katanya, perusahaan itu membeli sampah kertas untuk didaur-ulang. Tapi sampah itu bercampur plastik, yang harus dipisahkan dari kertas. Plastik itu akhirnya melimpah ke lingkungan sekitarnya dan digunakan oleh penduduk sebagai bahan bakar untuk membuat tahu. Karena itu, udara, air dan tanah terimbas oleh polusi baru ini, kata Stiv Wilson. (ii)