Listrik surya atap merupakan energi baru terbarukan (EBTK) yang penggunaannya didorong oleh pemerintah. Selain ramah lingkungan, listrik bertenaga matahari bermanfaat menurunkan jumlah tagihan listrik PLN.
Namun sayangnya, minat masyarakat akan listrik surya atap tersebut masih rendah.
Bussiness Director perusahaan riset pasar Kantar TNS Astiti Suhirman mengatakan hal ini terlihat dari survei yang dilakukan terhadap 500 orang dari kalangan menengah ke atas di wilayah Jabodetabek. Sebanyak 30 persen menyatakan tertarik ingin membeli, sisanya tidak mau membeli karena harganya mahal, dan pengetahuan masyarakat mengenai listrik surya atap tersebut masih rendah.
"Kemudian ketika kita perlihatkan manfaatnya, keinginan membeli naik lagi. Naik 30 persen. Jadi memang 30 persen adalah target market kita. Potential buyer kita saat ini, dan hanya dua persen yang benar-benar early adopter dengan harga dan manfaat yang kita tawarkan," ujar Astiti.
Hal tersebut dia sampaikan dalam diskusi Hasil Survei Calon Pengguna Instalasi Listrik Surya Atap di kawasan Jabodetabek, di Double Tree Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/10).
Melihat survei tersebut, pemerintah tetap optimistis penggunaan listrik surya atap akan meningkat dari tahun ke tahun. Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Ditjen EBTKE Harris Yahya mengatakan bahwa dari tahun ke tahun tren global harga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga surya semakin murah.
Dia menjelaskan harga alat listrik surya atap ini sudah jauh menurun, dari semula Rp100 juta hingga saat ini hanya Rp14 juta hingga Rp18 juta per satu Kilo Watt (KW). Dia juga mencontohkan di India, harga listrik yang dihasilkan oleh tenaga surya sudah turun menjadi tiga sen dolar atau hampir Rp500 per KW. Harga ini jelas lebih murah dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga lain.
Untuk mendukung penggunaan listrik tenaga surya, pihaknya sedang menggodok regulasi terkait hal ini. Dengan bentuk Peraturan Menteri (Permen) nantinya, regulasi tersebut akan mengakomodasi beberapa hal, di antaranya kemudahan dan insentif untuk berbagai pihak seperti sektor rumah tangga, komersial, sosial, pemerintah dan juga tidak lupa sektor industri.
"Peraturan ini sedang didiskusikan internal. Kita sudah melakukan public hearing, sudah mendapatkan masukan dari stakeholder, dan itu sudah diakomodasi dan juga ada diskusi di dalamnya. Selesai kapan? Saya tidak mau menargetkan kapan, tapi selama ini kita setiap hari melakukan progress terkait dengan itu," kata Haris.
Lembaga Perbankan yang Dukung Listrik Surya Masih Terbatas
Sementara itu, Pendiri dan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Dr. Ir. Andhika Prastawa berharap akan banyak lembaga keuangan, khususnya perbankan, yang bisa memberikan kredit untuk pembelian alat listrik surya atap ini.
Saat ini baru satu lembaga perbankan, yaitu BPRS Lantabur Tebuireng di Jawa Timur, yang memberikan kredit bagi pembelian alat listrik surya atap tersebut.
"Ini sangat menurunkan spending calon pengguna di tahap awalnya. Spendingnya tadinya harus langsung jreng satu KW Rp15 juta, ini cukup Rp5 juta dan kemudian sisanya dicicil. Jadi simulasi BPRS menunjukkan penghematannya tadi bisa untuk membayar pinjaman, penghematan dari rekening listriknya. Dalam waktu lima tahun membayar pinjaman, sehingga setelah lima tahun sebetulnya bukan sekadar bebas, dia dapat listrik gratis," ungkap Andhika.
Selain itu, kata Andhika, alat listrik surya panel memiliki jaminan dari pabrik bisa bertahan hingga 25 tahun. Kalaupun menurun, setelah 20 tahun kinerjanya diperkirakan berkurang empat hingga lima persen.
Pemerintah menargetkan energi surya yang dihasilkan melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mencapai 6,4 Giga Watt (GW) atau 6.400 Mega Watt (WM) pada tahun 2025. Namun sampai saat ini baru 90 MW yang terpasang. [gi/uh]