Tiga puluhan organisasi pecinta lingkungan melalui gerakan #BersihkanIndonesia menantang Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang akan maju dalam Pemilu Presiden 2019 untuk berkomitmen melepaskan ketergantungan sistem energi dan ketenagalistrikan dari energi fosil.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah mengatakan, ketergantungan terhadap energi fosil, khususnya batu bara memiliki dampak negatif dalam jangka panjang terhadap kesehatan, lingkungan hidup, dan perekonomian negara.
"Pemerintah, partai politik, kandidat presiden, semua yang terlibat dalam praktik politik 2019 harus membicarakan persoalan energi. Salah satunya adalah meninggalkan kecanduan energi berbasis batubara. Kenapa? kecanduan terhadap batubara ini sangat merusak dari hulu sampai hilir," jelas Merah Johansyah di Jakarta, Rabu (19/9).
Merah Johansyah menambahkan koalisi juga mengajak masyarakat untuk memastikan bahwa siapapun kandidat yang terpilih agar memenuhi komitmen mereka, saat terpilih menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2019-2024.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati menambahkan batu bara juga mengancam ketahanan pangan. Menurut Hidayati, konsesi pertambangan batu bara mengancam seperlima tanah produktif yang seharusnya mendukung agenda ketahanan pangan Indonesia. Selain itu, biaya kesehatan dampak dari PLTU Batubara mencapai sekitar Rp351 Triliun untuk setiap tahun operasi pembangkit.
"Kalau dihitung biaya sosial yang diakibatkan PLTU Batubara itu dari emisinya bisa mencapai 11 sen per Kwh. Jadi dibandingkan dengan biaya untuk produksi dan penjualannya itu biaya sosialnya justru lebih tinggi dari PLTU ini," jelas Nur Hidayati.
Di samping itu, riset Greenpeace Indonesia menyebut PLTU batu bara diperkirakan telah menyebabkan 6.500 kematian dini setiap tahunnya. Dengan rencana pembangunan PLTU batu bara baru, angka kematian ini bisa mencapai 28.300 orang setiap tahunnya.
Sementara itu, Aktivis Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani mengatakan Indonesia dapat belajar dari negara-negara lain yang sudah memanfaatkan energi baru terbarukan seperti tenaga surya, air dan angin.
"Kita sebenarnya bisa mencontoh negara-negara lain yang sudah melakakukan itu lebih dulu seperti di Meksiko, Cina, India termasuk Korsel. Ketika kebijakan yang tepat terkait energi terbarukan sudah ada. Otomatis mendorong pengembangan energi yang lebih bersih, ramah lingkungan dan pro ekonomi kerakyatan," jelasnya.
Indonesia menargetkan peran energi baru dan energi terbarukan paling sedikit 23% sepanjang keekonomiannya terpenuhi, minyak bumi kurang dari 25%, batubara minimal 30%, dan gas bumi minimal 22% pada 2025. Sementara pada tahun 2050 peran energi baru dan energi terbarukan paling sedikit 31% sepanjang keekonomiannya terpenuhi, minyak bumi kurang dari 20%, batubara minimal 25%, dan gas bumi minimal 24%. [Ab/em]