Bayangkan tahun 2025. Gencatan senjata permanen di Gaza boleh jadi belum dicapai.
Perang juga masih berkobar di Ukraina. Sementara itu, China masih terus menjadi ancaman.
Terlepas dari siapa di antara Joe Biden dan Donald Trump yang akan menang dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) mendatang, berbagai tantangan tadi akan tetap ada.
Kebijakan luar negeri pada masa jabatan kedua Biden akan didasarkan pada prinsip-prinsip yang sama dengan masa jabatan pertamanya, yaitu kepemimpinan global dan multilateralisme.
Biden pernah mengatakan, “AS akan bersaing dan akan bersaing dengan penuh semangat, dan akan memimpin dengan nilai-nilai dan kekuatan kami. Kami akan bangkit membela sekutu-sekutu dan teman-teman kami.”
Selain itu, fokus pada bidang yang oleh pemerintah diyakini perlu ditingkatkan.
“Sebuah prakarsa besar dengan Kongres yang bertujuan untuk benar-benar mewujudkan janji membuka sumber daya bagi negara-negara berkembang," kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih, Jake Sullivan.
Ini artinya lebih banyak lagi investasi AS untuk berbagai program keringanan utang, reformasi bank pembangunan multilateral, dan berbagai proyek infrastruktur di seluruh dunia.
Tujuannya adalah untuk membendung prakarsa pembangunan global China dengan mendukung berbagai proyek koridor di seluruh dunia, seperti Koridor Lobito yang menghubungkan Zambia, Republik Demokratik Kongo dan Angola.
“Kami tidak hanya dapat membangun kapasitas transportasi untuk membantu memastikan bahwa kami memiliki input untuk rantai pasokan energi bersih kami, tetapi juga membuka potensi pertanian Afrika yang sangat besar dengan membawa barang-barang ke pasar, dan juga membuka transformasi digital di seluruh area itu," imbuh Sullivan.
Jika Trump menang, fokus pada pembangunan internasional tidak akan sebanyak itu. Kata Trump,
“Membuat Amerika lebih kaya, lebih aman, lebih kuat, lebih bangga dan lebih indah daripada sebelumnya. Saya pikir kita pasti akan mencapainya," kata Donald Trump, calon presiden yang diusung Partai Republik.
Meskipun slogan Trump adalah 'America First', atau 'Amerika yang Utama', bukan berarti kebijakan luar negerinya menganut isolasionisme.
“Merkantilisme, sudah pasti. Transaksionalis, ya.Namun, saya pikir bagian yang paling menarik dari kebijakan luar negerinya adalah sejauh mana visinya mengenai alat-alat kekuasaan Amerika digunakan dengan cara berbeda," papar Rachel Rizzo dari Atlantic Council.
Dukungan tak tergoyahkan bagi Israel, bantuan bersyarat bagi Ukraina dan persaingan kuat dengan China, adalah prinsip-prinsip kebijakan luar negeri yang diusulkan untuk masa jabatan kedua oleh lembaga kajian America First Policy Institute yang berafiliasi dengan Trump.
“Itu adalah tiga bidang yang harus ditangani oleh pemerintahan America First mendatang mana pun dan pemerintahan tersebut akan menghadapi ujian bagi pendekatan ‘perdamaian melalui kekuatan’" kata Chad Wolf, direktur eksekutif America First Policy Institute.
Meskipun pemenang dalam pemilihan November belum diketahui, yang jelas adalah kebijakan luar negeri tidak akan menjadi faktor yang menentukan.
Berbagai jajak pendapat menunjukkan bahwa rakyat Amerika lebih peduli pada inflasi, ekonomi, imigrasi dan kejahatan daripada keterlibatan AS di luar negeri. [uh/ab]
Forum