Tiga orang pelaku aksi terorisme di Solo, Jakarta, dan berbagai daerah yang terjadi dalam sebulan ini yaitu Farhan Mujahidin, Firmansyah, dan Muchsin Tsani, menambah daftar panjang lulusan pondok pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang terlibat aksi terorisme.
Akhir pekan lalu, sejumlah jurnalis di Solo mendapat kesempatan melihat aktivitas di dalam pondok pesantren yang selama ini menjadi domisili Abu Bakar Baasyir, tokoh kelompok Islam garis keras yang telah dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh Pengadilan Jakarta Selatan karena perannya dalam mendirikan kamp pelatihan ala militer di Aceh.
Pesantren Al Mukmin ingin membuktikan tak ada kaitan antara aksi terorisme dengan sistem pendidikan mereka.
Kompleks pondok pesantren ini terdiri dari empat gedung berlantai tiga. Dua gedung adalah asrama, masing masing-masing berisi sekitar 40 ruangan yang digunakan untuk kamar tidur santri. Masing-masing ruang mampu menampung sekitar 25 santri. Gedung santri laki-laki dan santri perempuan dipisahkan. Dua gedung lainnya adalah untuk kegiatan belajar mengajar setingkat Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.
“Abu Lahab adalah paman Rasulullah Muhammad. Meski masih berstatus paman, sikap dan perilaku Abu Lahab sangat membenci Rasulullah. Maka siapa yang membenci Rasulluah maka dia akan celaka,” ujar salah seorang guru di salah satu kelas.
Lorong bangunan dan ruang kelas yang berderet hanya dihiasi tulisan semboyan hidup maupun petikan terjemahan ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an. Tak ada foto presiden, wakil presiden, lambang negara burung Garuda Pancasila, maupun bendera merah putih yang biasanya ada di ruangan kelas sekolah umum.
Juru Bicara Pondok pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo, Hamim, membantah keterlibatan alumni atau jebolan ponpes ini dalam aksi terorisme adalah akibat sistem pendidikan selama berada di pesantren tersebut. Menurut Hamim, kurikulum maupun pendidikan di ponpes ini tidak jauh berbeda dengan pondok pesantren atau sekolah lainnya.
“Kita tidak tahu perilaku mereka selama ini karena mereka tidak lagi menempuh pendidikan di pesantren ini. Mereka bukan tanggung jawab kami lagi. Kami mohon maaf seandainya alumni jebolan kami itu melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat. Itu bukan keinginan dan bukan pola pendidikan kami,” ujarnya.
Pesantren tersebut menerapkan tiga bahasa: Bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Jumlah santri mencapai sekitar 1.400, dengan jumlah santri putrid sedikit lebih banyak. Pendidikan dilakukan selama enam tahun, setara dengan SMP dan SMA, dan semua santri melakukan ujian negara sebagai bekal untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Para santri juga belajar ilmu komputer dalam laboratorium di pondok pesantren tersebut.
Tokoh agama sekaligus ketua Nahdlatul Ulama di Solo, Helmi Sakdilah, mengatakan pondok pesantren memiliki peran penting mengajarkan pemahaman agama yang benar.
“Pondok pesantren sebenarnya untuk membentengi dari hal-hal negatif atau buruk. Peran pondok pesantren sangat penting. Jika ada seperti kemarin, dimana ada yang terlibat terorisme, maka itu karena personalnya sendiri. Pondok pesantren itu tidak mengajarkan hal-hal seperti itu,” ujar Helmi.
“Kalau sampai ada ponpes yang mengajarkan hal-hal buruk ya seharusnya ditutup saja. Mengajarkan makar, apalagi terkait aksi terorisme… Teroris itu bukan hanya musuhnya Indonesia saja, tetapi juga musuh Islam dan dunia. Jadi bagaimana kita belajar di pondok itu untuk mendalami agama yang benar,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Kementerian Agama wilayah Jawa tengah, Imam Haromain, saat ditemui di sela-sela pemberangkatan jemaah calon haji Jawa tengah, Jumat pagi (21/9), mengungkapkan pemerintah terus berupaya melakukan deradikalisasi ke berbagai pondok pesantren maupun sekolah keagamaan. Namun, Imam meminta semua pihak tidak menganggap semua pondok pesantren mencetak para pelaku aksi terorisme.
“Jangan digeneralisasi bahwa pondok pesantren itu mengajarkan aksi terorisme. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agama tertua, terutama untuk membina akhlak atau perilaku. Kalau ada satu atau dua orang lulusan pondok pesantren terlibat terorisme, itu kan hanya oknum, dan oknum ada di mana saja,” ujar Imam.
Berikut adalah anggota jaringan teroris yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren Ngruki menurut data dari kepolisian dan the International Crisis Group.
1. Gempur Budi Angkoro alias Jabir. Tewas pada 29 April 2006 dalam sebuah penggerebekan teroris di Wonosobo, Jawa Tengah. Ia pernah menimba ilmu di pondok pesantren Al Mukmin, Ngruki pada 1993-1996.
2. Joni Achmad Fauzan
Dalam data kepolisian, ia adalah salah seorang yang mensurvei lokasi target peledakan di Jawa Timur atas perintah Noordin M. Top pada 2005.
3. Mohamed Ihsan
Dikenal juga sebagai Jhoni Indrawan alias Gembrot alias Idris. Dia anggota Jamaah Islamiyah dari Riau. Terlibat dalam pengeboman malam Natal 2000 di Pekanbaru, serta peran kecil di Bali 2002 dan pegeboman Hotel Marriott di Jakarta pada 2003.
4. Sardona Siliwangi
Kadang-kadang memakai nama Dona bin Azwar, ia adalah anggota Jamaah Islamiyah di Bengkulu. Rumahnya di Bengkulu pernah digunakan untuk menyimpan bahan-bahan peledak yang digunakan untuk meledakkan Hotel Marriott pada 2003.
5. Tohir
Nama sebenarnya adalah Masrizal bin Ali Umar. Begitu lulus dari Ngruki pada 1994, ia langsung bergabung dengan Jamaah Islamiyah.
6. Toni Togar
Dia dikenal dengan nama Indrawarman. Berasal dari Medan, ia lulus dari Ngruki pada 1990 dan menjadi anggota Jamaah Islamiyah dengan basis di Medan. Ia terlibat dalam pengeboman malam Natal 2000.
7. Zulkarnaen
Nama aslinya Aris Sumarsono. Ia adalah kepala operasi militer Jamaah Islamiyah, dan anggota komando pusat. Setelah Bom Bali 2002, ia tak pernah muncul dari persembunyiannya. Pernah menjalani pelatihan di Afghanistan, ia bertugas sebagai instruktur di kursus pelatihan militer dekat Waimurat, Buru. Lelaki dari Sragen, Jawa Tengah, ini juga pelajar Ngruki pada 1975-1980.
8. Ali Gufron
Nama aliasnya adalah Mukhlas, dan ia adalah kakak kandung Amrozi, terdakwa Bom Bali. Seorang alumni mengatakan Gufron pernah bersekolah di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngrukin amun beberapa kali pengurus pondok membantah kabar tersebut. Ia dikabarkan masuk Ngruki setelah lulus dari sebuah SMP di Lamongan pada 1979.
9. Farhan Mujahidin, Muchsin Tsani, dan Firmansyah
Ketiganya adalah pelaku terorisme di Solo dan Jakarta yang terjadi sebulan ini. Mereka bersekolah di Al Mukmin Ngruki pada 2005-2008 namun tidak pernah mengambil ijazahnya karena masalah pelunasan biaya pendidikan. Farhan dan Muchsin tewas dalam penggerebekan di Solo akhir bulan lalu, sedangkan Firman ditangkap di Depok Jawa Barat.
Akhir pekan lalu, sejumlah jurnalis di Solo mendapat kesempatan melihat aktivitas di dalam pondok pesantren yang selama ini menjadi domisili Abu Bakar Baasyir, tokoh kelompok Islam garis keras yang telah dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh Pengadilan Jakarta Selatan karena perannya dalam mendirikan kamp pelatihan ala militer di Aceh.
Pesantren Al Mukmin ingin membuktikan tak ada kaitan antara aksi terorisme dengan sistem pendidikan mereka.
Kompleks pondok pesantren ini terdiri dari empat gedung berlantai tiga. Dua gedung adalah asrama, masing masing-masing berisi sekitar 40 ruangan yang digunakan untuk kamar tidur santri. Masing-masing ruang mampu menampung sekitar 25 santri. Gedung santri laki-laki dan santri perempuan dipisahkan. Dua gedung lainnya adalah untuk kegiatan belajar mengajar setingkat Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.
“Abu Lahab adalah paman Rasulullah Muhammad. Meski masih berstatus paman, sikap dan perilaku Abu Lahab sangat membenci Rasulullah. Maka siapa yang membenci Rasulluah maka dia akan celaka,” ujar salah seorang guru di salah satu kelas.
Lorong bangunan dan ruang kelas yang berderet hanya dihiasi tulisan semboyan hidup maupun petikan terjemahan ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an. Tak ada foto presiden, wakil presiden, lambang negara burung Garuda Pancasila, maupun bendera merah putih yang biasanya ada di ruangan kelas sekolah umum.
Juru Bicara Pondok pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo, Hamim, membantah keterlibatan alumni atau jebolan ponpes ini dalam aksi terorisme adalah akibat sistem pendidikan selama berada di pesantren tersebut. Menurut Hamim, kurikulum maupun pendidikan di ponpes ini tidak jauh berbeda dengan pondok pesantren atau sekolah lainnya.
“Kita tidak tahu perilaku mereka selama ini karena mereka tidak lagi menempuh pendidikan di pesantren ini. Mereka bukan tanggung jawab kami lagi. Kami mohon maaf seandainya alumni jebolan kami itu melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat. Itu bukan keinginan dan bukan pola pendidikan kami,” ujarnya.
Pesantren tersebut menerapkan tiga bahasa: Bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Jumlah santri mencapai sekitar 1.400, dengan jumlah santri putrid sedikit lebih banyak. Pendidikan dilakukan selama enam tahun, setara dengan SMP dan SMA, dan semua santri melakukan ujian negara sebagai bekal untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Para santri juga belajar ilmu komputer dalam laboratorium di pondok pesantren tersebut.
Tokoh agama sekaligus ketua Nahdlatul Ulama di Solo, Helmi Sakdilah, mengatakan pondok pesantren memiliki peran penting mengajarkan pemahaman agama yang benar.
“Pondok pesantren sebenarnya untuk membentengi dari hal-hal negatif atau buruk. Peran pondok pesantren sangat penting. Jika ada seperti kemarin, dimana ada yang terlibat terorisme, maka itu karena personalnya sendiri. Pondok pesantren itu tidak mengajarkan hal-hal seperti itu,” ujar Helmi.
“Kalau sampai ada ponpes yang mengajarkan hal-hal buruk ya seharusnya ditutup saja. Mengajarkan makar, apalagi terkait aksi terorisme… Teroris itu bukan hanya musuhnya Indonesia saja, tetapi juga musuh Islam dan dunia. Jadi bagaimana kita belajar di pondok itu untuk mendalami agama yang benar,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Kementerian Agama wilayah Jawa tengah, Imam Haromain, saat ditemui di sela-sela pemberangkatan jemaah calon haji Jawa tengah, Jumat pagi (21/9), mengungkapkan pemerintah terus berupaya melakukan deradikalisasi ke berbagai pondok pesantren maupun sekolah keagamaan. Namun, Imam meminta semua pihak tidak menganggap semua pondok pesantren mencetak para pelaku aksi terorisme.
“Jangan digeneralisasi bahwa pondok pesantren itu mengajarkan aksi terorisme. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agama tertua, terutama untuk membina akhlak atau perilaku. Kalau ada satu atau dua orang lulusan pondok pesantren terlibat terorisme, itu kan hanya oknum, dan oknum ada di mana saja,” ujar Imam.
Berikut adalah anggota jaringan teroris yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren Ngruki menurut data dari kepolisian dan the International Crisis Group.
1. Gempur Budi Angkoro alias Jabir. Tewas pada 29 April 2006 dalam sebuah penggerebekan teroris di Wonosobo, Jawa Tengah. Ia pernah menimba ilmu di pondok pesantren Al Mukmin, Ngruki pada 1993-1996.
2. Joni Achmad Fauzan
Dalam data kepolisian, ia adalah salah seorang yang mensurvei lokasi target peledakan di Jawa Timur atas perintah Noordin M. Top pada 2005.
3. Mohamed Ihsan
Dikenal juga sebagai Jhoni Indrawan alias Gembrot alias Idris. Dia anggota Jamaah Islamiyah dari Riau. Terlibat dalam pengeboman malam Natal 2000 di Pekanbaru, serta peran kecil di Bali 2002 dan pegeboman Hotel Marriott di Jakarta pada 2003.
4. Sardona Siliwangi
Kadang-kadang memakai nama Dona bin Azwar, ia adalah anggota Jamaah Islamiyah di Bengkulu. Rumahnya di Bengkulu pernah digunakan untuk menyimpan bahan-bahan peledak yang digunakan untuk meledakkan Hotel Marriott pada 2003.
5. Tohir
Nama sebenarnya adalah Masrizal bin Ali Umar. Begitu lulus dari Ngruki pada 1994, ia langsung bergabung dengan Jamaah Islamiyah.
6. Toni Togar
Dia dikenal dengan nama Indrawarman. Berasal dari Medan, ia lulus dari Ngruki pada 1990 dan menjadi anggota Jamaah Islamiyah dengan basis di Medan. Ia terlibat dalam pengeboman malam Natal 2000.
7. Zulkarnaen
Nama aslinya Aris Sumarsono. Ia adalah kepala operasi militer Jamaah Islamiyah, dan anggota komando pusat. Setelah Bom Bali 2002, ia tak pernah muncul dari persembunyiannya. Pernah menjalani pelatihan di Afghanistan, ia bertugas sebagai instruktur di kursus pelatihan militer dekat Waimurat, Buru. Lelaki dari Sragen, Jawa Tengah, ini juga pelajar Ngruki pada 1975-1980.
8. Ali Gufron
Nama aliasnya adalah Mukhlas, dan ia adalah kakak kandung Amrozi, terdakwa Bom Bali. Seorang alumni mengatakan Gufron pernah bersekolah di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngrukin amun beberapa kali pengurus pondok membantah kabar tersebut. Ia dikabarkan masuk Ngruki setelah lulus dari sebuah SMP di Lamongan pada 1979.
9. Farhan Mujahidin, Muchsin Tsani, dan Firmansyah
Ketiganya adalah pelaku terorisme di Solo dan Jakarta yang terjadi sebulan ini. Mereka bersekolah di Al Mukmin Ngruki pada 2005-2008 namun tidak pernah mengambil ijazahnya karena masalah pelunasan biaya pendidikan. Farhan dan Muchsin tewas dalam penggerebekan di Solo akhir bulan lalu, sedangkan Firman ditangkap di Depok Jawa Barat.