Usia belia pelaku aksi teror di Solo dalam dua pekan terakhir mengundang kekhawatiran tokoh agama setempat. Pemimpin organisasi Nadhlatul Ulama di Solo, Helmy Sakdilah, mengecam keras tindakan kelomopk teroris dalam merekrut para remaja menjadi martir aksi terorisme.
“Sangat disayangkan sekali jika para remaja atau generasi muda sudah direcoki hal-hal kekerasan seperti itu. Kita kawal lah bagaimana negara ini bisa aman, nyaman, tanpa ada gangguan teroris..jangan sampai ada teroris-teroris lagi lah," ujarnya.
Sebelumnya, pekan lalu, Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) Timur Pradopo mengatakan bahwa para pelaku aksi teror yang terjadi di Solo masih berusia belasan tahun dan memiliki jaringan dengan pemasok senjata dari Filipina.
“Ada dua orang yaitu F dan M. Keduanya berusia 19 tahun dan tewas. Kita menangkap satu orang lagi yaitu B di Karanganyar. Dari hasil pemeriksaaan, dua tersangka yang tewas maupun seorang lagi yang masih hidup, dapat kita temukan bahwa yang dilakukan salah seorang dari mereka berperan sebagai pemasok senjata dari Filipina. Mereka menyelundupkan berbagai senjata api, amunisi, dan lainnya dari Filipina. Usia mereka semua masih muda,” ujar Timur.
Pihak kepolisian Rabu (5/9) menangkap F di kawasan Depok, Jawa Barat. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Anang Iskandar menyatakan tersangka yang bernama Firman itu terlibat dalam kasus penembakan Pos Pengamanan Lebaran, pelemparan granat dan penembakan di pos polisi, Solo.
Baik F maupun M ternyata adalah lulusan pondok pesantren di Ngruki. Direktur pondok pesantren Al Mukmin Ngruki, Wahyuddin, mengakui keduanya pernah menjadi santri di pondok pesantren ini dan lulus 2008.
“Ijasah kelulusan mereka masih ada di sini, tertahan karena masalah administrasi. Kita tidak tahu perilaku mereka selama ini karena mereka tidak lagi menempuh pendidikan di pondok pesantren ini. Kami mohon maaf seandainya alumni kami itu melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat. Itu bukan keinginan dan bukan pola pendidikan kami. Makanya untuk akhir-akhir ini pendidikan kami fokuskan ke kegiatan belajar mengajar,” ujar Wahyuddin.
Selama dua pekan terakhir, Solo menjadi sasaran tiga aksi terorisme. Aksi pertama terjadi pada malam tirakatan Kemerdekaan RI 17 Agustus lalu yang melukai dua orang polisi di pos Polisi Gemblegan. Dua hari kemudian saat malam takbiran menjelang Idul Fitri, 18 Agustus, pos polisi di Gladag rusak terkena ledakan lemparan granat.
Pada 30 Agustus, sebuah pos polisi di kawasan perdagangan Pasar Singosaren Solo menjadi sasaran penyerangan tembakan kelompok tak dikenal. Berondongan tembakan menewaskan seorang polisi di lokasi tersebut. Peluru pelaku menembus bagian dada, lengan, dan perut.
Sehari kemudian, pada 31 Agustus, polisi antiteror menggerebek lokasi keberadaan kelompok teroris di Tipes, Serengan, Solo. Terjadi baku tembak yang menewaskan satu orang polisi anti teror dan dua orang kelompok tersebut, sedangkan satu orang ditangkap.
Deradikalisasi
Anggota Komisi Hukum DPR Eva Kusuma Sundari kepada VOA menyatakan pemerintah harus segera melakukan upaya deradikalisasi terhadap para pemuda yang terlibat jaringan teroris.
Polisi, kata Eva, juga harus menindak tegas mereka yang menyebarkan paham-paham radikal kepada anak-anak muda. Jika tidak maka Eva mengkhawatirkan akan semakin banyaknya para pemuda yang terlibat dalam gerakan radikal.
Dia juga meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk segera menutup laman yang mengajarkan paham radikalisme. Menurut Eva, pengkaderan dikalangan pemuda terkait tindakan terorisme merupakan ancaman bagi masa depan pemuda Indonesia.
“Yang harus di-deradikalisasi itu jadinya anak-anak muda yang direkrut yang kemudian diolah untuk kemudian mempunyai pemikiran dan bahkan mengikuti tindakan pemikiran radikal tadi. Bahkan laman mereka [teroris] sangat mudah diakses jadi anak muda bisa melakukan radikalisasi sendiri, tidak harus kemudian bertemu dengan para aktornya,” ujarnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai mengungkapan upaya deradikalisasi kepada para teroris memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Pihaknya, kata Ansyaad, bekerjasama dengan para ulama, Majelis Ulama Indonesia, polisi dan sejumlah ormas Islam untuk merehabilitasi teroris yang saat ini masih ada di penjara.
Menurutnya rehabilitasi itu dilakukan untuk menetralisir pemahaman para teroris. Diharapkan dengan adanya rehabilitasi ini menurut Ansyaad pemahaman radikal para teroris tidak terus berkembang seperti sekarang ini.
Selain itu, pemerintah bersama sejumlah pihak kata Ansyaad juga akan melakukan upaya untuk mencegah adanya penyebaran paham radikal di masyarakat.
“Bagaimana meng-counter radikalisasi di masyarakat yang lebih luas, di luar teroris itu, yang mereka (teroris) mendapatkan dukungan disitu. Pemerintah tidak bisa melakukan ini sendiri. Kuncinya ormas-ormas keagamaan, ulama, tokoh-tokoh kita. Masalahnya yang disebut radikalisme ini adalah radikalisme yang mengatasnamakan agama. Jadi tokoh agamalah yang punya kapasitas melakukan ini, pemerintah hanya menfasilitasi itu,” ujarnya
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengungkapkan proses deradikalisasi terhadap para teroris dapat lebih mudah berjalan apabila polisi tidak melakukan tindakan kekerasan yang berlebihan terhadap para teroris ketika mereka tertangkap.
“Kemudian menjadikan polisi target lawannya karena mereka melihat beberapa tindakan kepolisian yang berlebihan. Seandainya polisi tidak menyisakan residu kebencian itu akan lebih memudahkan kerja deradikalisasi ke depan,” ujarnya.
“Sangat disayangkan sekali jika para remaja atau generasi muda sudah direcoki hal-hal kekerasan seperti itu. Kita kawal lah bagaimana negara ini bisa aman, nyaman, tanpa ada gangguan teroris..jangan sampai ada teroris-teroris lagi lah," ujarnya.
Sebelumnya, pekan lalu, Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) Timur Pradopo mengatakan bahwa para pelaku aksi teror yang terjadi di Solo masih berusia belasan tahun dan memiliki jaringan dengan pemasok senjata dari Filipina.
“Ada dua orang yaitu F dan M. Keduanya berusia 19 tahun dan tewas. Kita menangkap satu orang lagi yaitu B di Karanganyar. Dari hasil pemeriksaaan, dua tersangka yang tewas maupun seorang lagi yang masih hidup, dapat kita temukan bahwa yang dilakukan salah seorang dari mereka berperan sebagai pemasok senjata dari Filipina. Mereka menyelundupkan berbagai senjata api, amunisi, dan lainnya dari Filipina. Usia mereka semua masih muda,” ujar Timur.
Pihak kepolisian Rabu (5/9) menangkap F di kawasan Depok, Jawa Barat. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Anang Iskandar menyatakan tersangka yang bernama Firman itu terlibat dalam kasus penembakan Pos Pengamanan Lebaran, pelemparan granat dan penembakan di pos polisi, Solo.
Baik F maupun M ternyata adalah lulusan pondok pesantren di Ngruki. Direktur pondok pesantren Al Mukmin Ngruki, Wahyuddin, mengakui keduanya pernah menjadi santri di pondok pesantren ini dan lulus 2008.
“Ijasah kelulusan mereka masih ada di sini, tertahan karena masalah administrasi. Kita tidak tahu perilaku mereka selama ini karena mereka tidak lagi menempuh pendidikan di pondok pesantren ini. Kami mohon maaf seandainya alumni kami itu melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat. Itu bukan keinginan dan bukan pola pendidikan kami. Makanya untuk akhir-akhir ini pendidikan kami fokuskan ke kegiatan belajar mengajar,” ujar Wahyuddin.
Selama dua pekan terakhir, Solo menjadi sasaran tiga aksi terorisme. Aksi pertama terjadi pada malam tirakatan Kemerdekaan RI 17 Agustus lalu yang melukai dua orang polisi di pos Polisi Gemblegan. Dua hari kemudian saat malam takbiran menjelang Idul Fitri, 18 Agustus, pos polisi di Gladag rusak terkena ledakan lemparan granat.
Pada 30 Agustus, sebuah pos polisi di kawasan perdagangan Pasar Singosaren Solo menjadi sasaran penyerangan tembakan kelompok tak dikenal. Berondongan tembakan menewaskan seorang polisi di lokasi tersebut. Peluru pelaku menembus bagian dada, lengan, dan perut.
Sehari kemudian, pada 31 Agustus, polisi antiteror menggerebek lokasi keberadaan kelompok teroris di Tipes, Serengan, Solo. Terjadi baku tembak yang menewaskan satu orang polisi anti teror dan dua orang kelompok tersebut, sedangkan satu orang ditangkap.
Deradikalisasi
Anggota Komisi Hukum DPR Eva Kusuma Sundari kepada VOA menyatakan pemerintah harus segera melakukan upaya deradikalisasi terhadap para pemuda yang terlibat jaringan teroris.
Polisi, kata Eva, juga harus menindak tegas mereka yang menyebarkan paham-paham radikal kepada anak-anak muda. Jika tidak maka Eva mengkhawatirkan akan semakin banyaknya para pemuda yang terlibat dalam gerakan radikal.
Dia juga meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk segera menutup laman yang mengajarkan paham radikalisme. Menurut Eva, pengkaderan dikalangan pemuda terkait tindakan terorisme merupakan ancaman bagi masa depan pemuda Indonesia.
“Yang harus di-deradikalisasi itu jadinya anak-anak muda yang direkrut yang kemudian diolah untuk kemudian mempunyai pemikiran dan bahkan mengikuti tindakan pemikiran radikal tadi. Bahkan laman mereka [teroris] sangat mudah diakses jadi anak muda bisa melakukan radikalisasi sendiri, tidak harus kemudian bertemu dengan para aktornya,” ujarnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai mengungkapan upaya deradikalisasi kepada para teroris memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Pihaknya, kata Ansyaad, bekerjasama dengan para ulama, Majelis Ulama Indonesia, polisi dan sejumlah ormas Islam untuk merehabilitasi teroris yang saat ini masih ada di penjara.
Menurutnya rehabilitasi itu dilakukan untuk menetralisir pemahaman para teroris. Diharapkan dengan adanya rehabilitasi ini menurut Ansyaad pemahaman radikal para teroris tidak terus berkembang seperti sekarang ini.
Selain itu, pemerintah bersama sejumlah pihak kata Ansyaad juga akan melakukan upaya untuk mencegah adanya penyebaran paham radikal di masyarakat.
“Bagaimana meng-counter radikalisasi di masyarakat yang lebih luas, di luar teroris itu, yang mereka (teroris) mendapatkan dukungan disitu. Pemerintah tidak bisa melakukan ini sendiri. Kuncinya ormas-ormas keagamaan, ulama, tokoh-tokoh kita. Masalahnya yang disebut radikalisme ini adalah radikalisme yang mengatasnamakan agama. Jadi tokoh agamalah yang punya kapasitas melakukan ini, pemerintah hanya menfasilitasi itu,” ujarnya
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengungkapkan proses deradikalisasi terhadap para teroris dapat lebih mudah berjalan apabila polisi tidak melakukan tindakan kekerasan yang berlebihan terhadap para teroris ketika mereka tertangkap.
“Kemudian menjadikan polisi target lawannya karena mereka melihat beberapa tindakan kepolisian yang berlebihan. Seandainya polisi tidak menyisakan residu kebencian itu akan lebih memudahkan kerja deradikalisasi ke depan,” ujarnya.