PM Thailand Prayuth Chan-ocha menolak tuntutan pengunduran dirinya hari Jumat (16/10), sementara para demonstran tidak menghiraukan larangan berkumpul di ibukota Bangkok untuk hari kedua di tengah-tengah penumpasan oleh polisi yang disertai kekerasan.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mendeklarasikan keadaan darurat sebagai tanggapan atas pembangkangan sipil oleh mahasiswa, yang menuntut pengunduran dirinya dan reformasi terhadap sistem monarki konstitusional.
Prayuth hari Jumat mengatakan, langkah itu perlu karena “kelompok tertentu terdiri dari pelaku-pelaku yang hendak memicu sebuah insiden dan gerakan yang buruk di daerah Bangkok, lewat berbagai cara dan saluran, termasuk menghambat konvoi kendaraan kerajaan.”
Ia menegaskan bahwa dirinya tidak merencanakan untuk mengundurkan diri, karena tidak melakukan kesalahan apapun. Ditambahkannya, pemerintahan yang dipimpinnya berharap dapat mencabut keadaan darurat sebelum masa berlakunya yang normal selama 30 hari “kalau situasi pulih secara cepat.”
Untuk menumpas aksi protes, polisi yang dipersenjatai dengan meriam air yang dicampur dengan bahan kimia yang menimbulkan keperihan menyerang pemrotes, membubarkan mereka, juga penonton dan reporter. Jurnalis yang kena tembakan meriam air mengatakan, tembakan itu menyebabkan rasa perih dan meninggalkan bekas warna biru, guna menandai pemrotes agar bisa ditangkap kemudian.
Prayuth adalah Jenderal Angkatan Darat (Purnawirawan) yang merebut kekuasaan melalui sebuah kudeta militer pada tahun 2014, yang menggulingkan pemerintahan sipil terpilih. Dia memenangkan pemilihan tahun lalu, tetapi pemrotes mengatakan, pemilihan itu berjalan secara curang dan menguntungkan dirinya karena UU pemilihannya disusun oleh pihak militer. [jm/pp]