Dalam jumpa pers di Polda Metro Jaya, Selasa, Kepala Kepolisian Metro Jaya, Irjen Timur Pradopo mengatakan pihaknya saat ini telah menetapkan sembilan orang tersangka terkait kasus penusukan dua orang pendeta HKBP di Bekasi, Jawa Barat.
Kata Kapolda Polisi terus melakukan pengembangan atas kasus tersebut. Kesembilan orang tersangka itu di jerat pasal 351 dan 170 yaitu melakukan penganiayaan secara bersama-sama.
“Kita sudah berhasil telah menangkap sembilan tersangka. Kemudian dari pemeriksaan sementara kenapa dia melakukan itu, adalah karena tidak mengikuti aturan dari pemerintah daerah. Tidak boleh di sini, mengapa masih melakukan itu,” jelas Irjen Timur Pradopo.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ifdal Kasim meminta pemerintah segera mengkaji ulang peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pendirian tempat ibadah. Hal ini harus dilakukan karena peraturan itu, menurutnya, sangat diskriminatif, sehingga menyulitkan bagi kelompok minoritas untuk menjalankan ibadahnya.
Menurut peraturan tersebut, mereka yang ingin mendirikan tempat ibadah harus mengumpulkan tanda tangan dari orang-orang yang seagama di wilayah bersangkutan. Kata Ifdal, dari masing-masing daerah jumlahnya berbeda-beda.
Pihak kepolisian kata Ifdal juga harus memberikan perlindungan bagi jemaat HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi, agar kasus penusukan terhadap dua pendeta HKBP pada tanggal 12 September lalu tidak terjadi lagi.
“Itu menyulitkan bagi kelompok minoritas. Karena di Jawa orang Kristen atau orang Budha itu jadi minoritas tapi di Menado, di Bali, di Papua orang Islam jadi minoritas. Karena itu, SKB (Surat Keputusan Bersama) ini perlu ditinjau lebih jauh, tidak perlu ada mekanisme-mekanisme. Apakah perlu ada keharusan mendapatkan tanda tangan? Karena itu yang menimbulkan banyak sekali ketegangan.” ujar Ifdal Kasim.
Ifdal Kasim menyayangkan sikap pemerintah khususnya pemerintah daerah Bekasi yang terkesan membiarkan konflik yang terjadi antara Jemaat HKBP dengan ormas dan masyarakat tertentu, sehubungan dengan tempat ibadah. Padahal konflik itu sudah terjadi sejak beberapa bulan silam.
Sementara itu, Dirjen Bimbingan Masyarakat Kementerian Agama, Nasarudin Umar mengatakan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sangat diperlukan untuk mencegah konflik antar umat beragama seperti yang terjadi sebelum peraturan ini dikeluarkan.
“Kalau ini (peraturan) tidak ada maka itu artinya akan terjadi kevakuman, akan kita serahkan masyarakat mengatur dirinya sendiri. Itu bisa bahaya akibatnya. Kita khawatirkan malah kalau ini dicabut, yang justru paling terancam kelompok-kelompok minoritas,” ungkap Nasarudin Umar.
Nasarudin juga membantah anggapan bahwa peraturan tersebut diskriminatif.