Mahadeva Wahyu Sugianto kini lebih sibuk mengurus usaha barunya, sebuah toko kelontong. Berbeda jauh dengan dua bulan lalu, ketika dia masih menghabiskan waktu dengan menemui narasumber dan menulis berita.
Mahadeva adalah satu dari sekian banyak karyawan Harian Sindo yang terkena PHK. Kantor biro surat kabar itu di Yogyakarta yang memiliki 42 karyawan, baik jurnalis maupun bagian administrasi, ditutup akhir Juni lalu.
Sempat ada ketidaksepakatan mengenai nilai kompensasi atau pesangon yang diberikan MNC Group. Sejumlah karyawan di Yogyakarta pun, meminta bantuan dinas tenaga kerja setempat untuk melakukan mediasi. Sebelum itu terjadi, pihak perusahaan melakukan pendekatan dan merubah nilai kompensasi yang ditawarkan; naik dari angka awal, tetapi belum sebesar yang harapkan.
Mahadeva termasuk staf yang menerima nilai kompensasi baru yang diberikan oleh Koran Sindo. Ratusan jurnalis dan karyawan lainnya dari berbagai kantor biro di seluruh Indonesia, masih berjuang menuntut kompensasi yang lebih besar.
“Teman-teman sejak awal bertahan pada skema PHK massal, dengan skema ini maka pesangonnya adalah 2 kali PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja) sesuai peraturan perundang-undangan. Nah, terakhir kemarin kami yang di DIY menyepakatinya dengan skema mutasi yang ditolak, dengan kompensasi 1 kali PMTK. Teman-teman melihat situasi, kondisi, dan tawaran dari manajemen. Juga melihat situasinya, kalau persoalan ini nanti dipanjangkan bisa sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial dan sebagainya, dengan berkaca pada kemampuan masing-masing, kita melihat pesangon itu sudah masuk angka psikologis yang bisa diterima teman-teman,” ujar Mahadeva Wahyu Sugianto.
Beberapa pekan lalu, sembilan jurnalis surat kabar harian Bernas di Yogyakarta juga berhenti bekerja. Mereka terdiri dari kontributor daerah, redaktur hingga pemimpin redaksi.
Koran Tempo tidak lagi membagikan versi cetak di daerah, memusatkan distribusinya di Jabotabek dan memperkuat situs berita mereka. Sejumlah tabloid dan majalah terbitan Kelompok Kompas Gramedia, satu persatu rontok dan menjadi kenangan. Badai ini terjadi di sejumlah media cetak di seluruh tanah air.
Mahadeva mengaku sudah melihat tanda-tanda surutnya bisnis media cetak MNC Group sejak sekitar setahun yang lalu. Awalnya versi cetak Koran Sindo mengurangi jumlah halaman berwarna mereka. Kemudian setelah itu, jumlah halaman koran yang dikurangi.
Jurnalis Koran Sindo menduga setidaknya koran mereka akan tetap bertahan sampai 2019 sebagai tahun politik. Namun prediksi sekaligus harapan mereka itu meleset.
Amiruddin Zuhri, mantan Redaktur Pelaksana Harian Jogja, di Yogyakarta, justru memutuskan untuk mundur dari pekerjaannya sekitar setahun yang lalu. Dia sadar, bisnis media cetak menjelang berakhir, cepat atau lambat. Amiruddin tidak mau menunggu hingga kejatuhan itu datang, sehingga dirinya siap lahir batin menghadapi kenyataan.
"Secara sadar saya mundur. Ibarat saya melompat dari kapal yang masih berlayar pelan, lompatan saya bisa lebih jauh dan saya juga stabil karena siap. Kalau lompat dari kapal yang bocor dan oleng, kita pasti tak bisa jauh dan resiko tercebur lebih besar," kata Amiruddin.
Tidak mau meninggalkan dunia tulis menulis, Amiruddin kini membuat situs seputar militer, perang dan sejarah. Mengandalkan pendapatan dari iklan, dia mengaku kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi. Jika dikelola dengan baik dan profesional, kata Amiruddin, blog juga bisa menghasilkan uang yang tidak kalah jumlahnya dengan gaji jurnalis.
Pengamat media dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Ana Nadya Abrar menyarankan para jurnalis untuk mau menyesuaikan diri. Abrar yakin, ucapan selamat tinggal untuk media cetak tidak akan lama lagi diucapkan. Namun, informasi selalu dibutuhkan oleh masyarakat, dan karena itu jurnalis dapat bergerak di ranah tersebut. Jurnalis, kata Abrar, harus memahami tren, bahwa media online akan segera menggantikan media cetak.
Kondisi ini, menurut Abrar, sudah diprediksi oleh para ahli teori komunikasi. Persoalannya, prediksi itu datang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
“Sebenarnya ada sebuah teori komunikasi yaitu Teori Matematika Komunikasi. Teori ini diciptakan oleh Claude Shannon dan Weaver pada 1948.
Berdasarkan teori itu, sebenarnya kondisi yang sekarang ini sudah diprediksi. Cuma yang belum terbayangkan adalah bahwa kenyataannya datang secepat itu.
Kedua, saya pikir dari sisi teknologi, ini konsekuensi logis, karena kemajuan teknologi komunikasi pasti meningkatkan kemampuan manusia, cuma dampaknya bagi ratusan bahkan ribuan karyawan di industri media cetak ini yang tidak diprediksi oleh pemilik media itu sendiri,” ujar Ana Nadya Abrar.
Ilmu Komunikasi di kampus pun bergerak menyesuaikan diri. Mahasiswa telah dibekali dengan pemahaman mengenai perubahan industri media cetak. Mahasiswa yang mengambil konsentrasi jurnalistik, diharapkan mampu mengikuti perubahan cepat yang terjadi di luar. Kuliah dengan para praktisi yang sering dilakukan di kampus, diharapkan juga membekali calon-calon jurnalis itu dengan sudut pandang baru.
“Tahun ini kita memulai kurikulum baru yang memberi pengetahuan kepada mahasiswa tidak hanya jurnalisme konvensional seperti dulu, tetapi juga jurnalisme konvergensi. Bagaimana mereka menggunakan media sosial dan media online untuk menyiarkan berita. Kita sudah mencoba mengantisipasi itu.”
Media massa cetak yang masih akan bertahan diperkirakan adalah mereka yang terbit dari grup-grup media besar. Kombinasi bisnis televisi, radio, cetak dan online setidaknya mampu memberi nafas lebih panjang dengan subsidi silang, karena terbukti media cetak tidak lagi menjadi pilihan pemasang iklan. Padahal, dari sanalah industri ini menyambung nyawanya. [ns/lt]