Tautan-tautan Akses

Pernyataan Hidayat Nur Wahid soal Kawin Anak, Picu Kritik Tajam


Dr. Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR RI (foto: dok).
Dr. Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR RI (foto: dok).

Pernyataan Wakil Ketua MPR Dr. Hidayat Nur Wahid tentang pernikahan dini pekan lalu menuai kritik tajam dari sejumlah aktivis perempuan dan akademisi.

Menyikapi rencana akan dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu tentang pencegahan perkawinan anak oleh presiden, Fakultas Hukum Universitas Indonesia menggelar seminar “Polemik Pernikahan Dini” di kampus UI Depok.

Beberapa tokoh dari beragam latar belakang ikut bicara, termasuk Wakil Ketua MPR Dr. Hidayat Nur Wahid yang menjadi pembicara utama. Namun pernyataannya ketika mencoba menjabarkan makna “pernikahan dini” dalam bahasa Indonesia dan Arab, yang menyamakannya sebagai “pernikahan yang sesuai ajaran agama” memicu kritik tajam sejumlah aktivis dan akademisi. Terlebih ketika mantan ketua umum Partai Keadilan Sejahtera PKS ini membandingkan angka pernikahan dini dengan kejahatan seksual terhadap anak.

“Kata-kata pernikahan dini itu berbeda maksudnya menurut bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia artinya lebih dahulu atau dini atau lebih awal. Dalam bahasa Arab artinya yang sesuai dengan ajaran agama. Jadi pernikahan dini artinya pernikahan yang sesuai dengan ajaran agama. Karena kita ada di Indonesia, maka ini artinya pernikahan lebih awal. Memang ada beberapa kasus terkait pernikahan dini yang dilakukan seiring kondisi mereka yang di bawah umur. Tetapi secara bersamaan yang sering terjadi di Indonesia dan ini jarang jadi perhatian, adalah fakta bahwa matangnya kedewasaan anak-anak kita, termasuk soal organ seksual mereka, termasuk soal pemahaman tentang seksual, termasuk perilaku seksual mereka, jika dibandingkan kasus pernikahan dini dan kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur, saya yakin angkanya lebih banyak kejahatan seksual,” kata Hidayat Nur Wahid.

Aktivis anti-perkawinan anak yang juga antropolog dalam kajian gender, Lies Marcoes-Natsir, mengatakan pernyataan itu problematik dan menunjukkan ketidaktahuan tentang persoalan darurat ini.

“Jadi pernyataan itu problematik menurut saya, Pak HNW seakan-akan tidak tahu bahwa kekerasan dan kejahatan seksual bisa terjadi di dalam perkawinan. Bukan di luar perkawinan. Ini berarti ia tidak tahu bahwa perkawinan anak adalah salah satu bentuk kejahatan secara seksual karena di dalam perkawinan anak… Menurut saya pernyataan HNW sebagai orang parlemen menunjukkan bahwa ia tidak menguasai point-point utama persoalan terjadinya perkawinan anak,” tukas Lies.

Hal senada disampaikan antropolog Universitas Indonesia Yossa Nainggolan.

“Saya pikir apa yang disampaikan dalam pidatonya menjadi bias karena beliau tidak memusatkan perhatian pada pernikahan dini karena menilai angka kejahatan seksual terhadap anak lebih tinggi, padahal kejahatan seksual terhadap anak itu yaa mencakup pernikahan dini. Ini jelas bias,” ujar Yossa.

Acara perkawinan anak di Lombok, NTB. (Courtesy: Armin Hari)
Acara perkawinan anak di Lombok, NTB. (Courtesy: Armin Hari)

Lies Marcoes-Natsir Sesalkan Penggunaan Hukum Agama & Bukan Hukum Positif dalam Isu Kawin Anak

Lebih jauh Lies Marcoes-Natsir yang juga dikenal sebagai feminis Muslim menyesalkan penggunaan hukum agama dan bukan hukum positif ketika bicara tentang suatu persoalan yang menjadi keprihatinan bersama, bukan satu kelompok agama saja.

"Ini menunjukkan ia menggunakan dualisme dalam penggunaan hukum. Seharusnya sebagai anggota parlemen yang ada di Indonesia, ia menggunakan hukum-hukum positif. Hukum agama sedianya ditanggalkan, kecuali itu terkait dengan urusan pribadinya. Jika tentang anak dia, saudaranya, mungkin orang bisa memaklumi. Tetapi hukum agama tidak bisa dijadikan sebagai hukum publik karena Indonesia adalah negara demokrasi yang tidak berdasarkan agama. Hukum fiqih tidak boleh digunakan sebagai hukum positif, kecuali jika ia sudah diproses menjadi bagian dari hukum positif, sebagaimana yang dimasukkan dalam sebagian UU Perkawinan 1974," tambah Lies.

Dalam pidatonya Hidayat Nur Wahid mengatakan darurat moral di Indonesia tidak perlu ada, jika bangsa ini berpegang kuat kepada nilai-nilai agama. Bahkan UUD 1945 menyatakan dengan gamblang dan jelas sisi-sisi terkait moral, keimanan dan akhlak dalam kehidupan bermasyarakat.

Sementara itu aktivis “Kapal Perempuan” Misi Misiyah mengkritisi perbandingan angka perkawinan anak dan kejahatan seksual terhadap anak yang juga disampaikan Hidayat Nur Wahid, yang menurutnya tidak benar.

“Saya membantah pernyataan Hidayat Nur Wahid bahwa kasus kejahatan seksual yang terjadi pada anak-anak di bawah umur lebih banyak dibanding kasus pernikahan anak. Data BPS menunjukkan tingginya angka perkawinan anak yaitu tahun 2017 sebanyak 25,71 persen. Satu dari lima perempuan yang pernah kawin di Indonesia adalah kasus perkawinan anak. Indonesia juga menduduki peringkat ketujuh tertinggi sedunia. Tetapi terlepas dari sedikit atau banyaknya kasus, sebagai pejabat publik mestinya konsisten untuk tidak membiarkan pelanggaran hak asasi manusia terjadi pada satu orang pun… Tidak ada alasan untuk melakukan pembiaran terhadap masalah perkawinan anak karena "perkawinan anak adalah bentuk kejahatan seksual" pada anak-anak,” tandas Misi Misiyah.

Cara Pandang atas Isu Kawin Anak Pengaruhi Bentuk Advokasi

Lies Marcoes-Natsir mengatakan sudah saatnya semua pihak, termasuk pejabat-pejabat publik, melihat isu perkawinan anak sebagai masalah kebudayaan. Cara pandang ini menurutnya penting karena akan mempengaruhi advokasi yang dilakukan.

Sementara Hidayat Nur Wahid menegaskan perlunya kerjasama elemen masyarakat untuk menjaga anak-anak bangsa dari kejahatan seksual dan pemahaman yang salah tentang seksualitas. [em/al]

Recommended

XS
SM
MD
LG