Konflik sosial yang terjadi akhir-akhir ini seringkali disebabkan oleh sentimen perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat. Kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia dengan suku, bahasa, agama, ras, maupun golongan yang berbeda, sering digunakan sebagai alasan terjadinya konflik. Padahal, keberagaman yang dimiliki seharusnya dijadikan modal besar untuk bangsa Indonesia menjadi negara maju.
Dalam diskusi daring bertema “Langkah Nyata Merajut Kebhinekaan NKRI”, Jumat (20/8), Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj, mengatakan persoalan keadilan sosial menjadi suatu hal yang masih sulit diwujudkan secara sungguh-sungguh sehingga masyarakat mudah dipancing untuk melihat perbedaan sebagai alasan membenci dan memusuhi orang lain yang berbeda.
“Tidak ada artinya kita hidup ini kalau tidak berupaya, berjuang, mewujudkan keharmonisan, dengan semua agama, apalagi dengan seagama, dengan agama apapun, kalau tidak memperjuangkan keharmonisan, tidak ada artinya kita hidup ini, percuma saja kita hidup ini," katanya.
"Begitu pula agama, semua agama mengaku beragama Islam, mengaku beragama Kristen, mengaku beragama Yahudi, kalau tidak menuju ke tatanan hidup yang harmonis, itu hanya pengakuan yang omong kosong," lanjut Said Aqil Siradj.
Wakil Direktur Bidang Pendidikan World Bhuddist Sangha Council, Bhikku Jayamedho Thera, menyoroti pemerataan pendidikan bagi generasi penerus tanpa membedakan suku, agama, ras, serta golongan anak didik.
Racun intoleransi ini, ujar Bhikku Jayamedho, harus dilawan dengan menghadirkan pendidikan studi agama-agama bagi generasi muda, sehingga pemikiran mereka tidak sempit dan fanatik.
“Kadang-kadang anak-anak itu teracuni, tidak hanya dari guru-gurunya, tapi juga dari orang tuanya yang mungkin kurang toleran terhadap agama lain," tukasnya.
"Sehingga mereka itu karena teracuni oleh guru, terutama pengaruh guru ini lebih kuat di anak didik dibandingkan orang tua. Ini yang menjadi PR (pekerjaan rumah), sehingga diperlukan pendidikan agama di sekolah-sekolah itu dengan menambahkan barangkali, tidak mengubah, menambahkan mengenai religious studies, studi agama-agama," papar Bhikku Jayamedho.
Said Aqil Siradj mengungkapkan pentingnya merajut persaudaraan melalui pertemuan-pertemuan rutin antar pemeluk agama yang berbeda-beda, sehingga tercipta pemahaman yang sama mengenai hidup berbangsa.
“Mari kita bekerja sama, memperkuat pemahaman, saling pendekatan, bukan hanya ketika krisis, contoh NU dan Kristen misalkan, NU dan KWI misalkan, jangan ketika ada masalah baru ketemu. Di luar sebelum ada persoalan, belum ada kasus apa pun, ayo kita bersama-sama dalam bidang kesehatan, di bidang kebersihan, pendidikan, atau training-training bersama, dilakukan kebersamaan. Nah ketika ada masalah, mudah diatasi," paparnya.
Bhikku Jayamedho menambahkan, langkah nyata merajut kebhinekaan juga dapat dilakukan dengan menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat. Justru perbedaan itu dapat menjadi perekat sesama anak bangsa, untuk bekerja sama menciptakan kehidupan yang lebih damai dan sejahtera.
“Marilah kita sebagai anak-anak bangsa di negara yang tercinta, yang makmur ini, bersama-sama bergandengan tangan dengan cara menyisihkan perbedaan-perbedaan, tapi lebih banyak kita bisa membantu sesama anak bangsa untuk menciptakan kedamaian, ketenteraman, kesejahteraan. Tanpa adanya hal-hal itu, maka mustahil kita bisa hidup bahagia, karena semua orang ingin bahagia.”
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Ignatius Kardinal Suharyo, mengajak semua anak bangsa untuk mengembangkan kepedulian terhadap lingkungan hidup, serta kepedulian terhadap sesama manusia sebagai wujud cinta terhadap Indonesia
“Mari kita wujudkan semangat cinta tanah air kita, warisan para pendiri bangsa kita, dengan merawat dan mengembangkan watak bangsa kita, peduli kepada sesama, peduli kepada alam ciptaan.” [pr/em]