Seperti tren di berbagai belahan dunia, di Indonesia, toleransi menjadi kepedulian pemerintah, walaupun seperti disitir dalam siaran pers Setara Institute pada bulan April lalu, “intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama masih menjadi persoalan yang perlu mendapat penanganan yang komprehensif dan holistik.” Namun, Setara Institute juga mengakui peran pemerintah dalam upaya memajukan toleransi dengan “berbagai inisiatif dan arah kebijakan memperlihatkan gerak maju.”
Dalam bidang pendidikan di Indonesia, toleransi menjadi perhatian penting, yang tidak hanya diajarkan, tetapi juga diupayakan pengamalannya, termasuk di sekolah-sekolah yang tidak berbasis agama, seperti disampaikan oleh Dr. Itje Chodidjah, MA, pakar pendidikan dan anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah.
“Berbicara tentang toleransi adalah berbicara tentang keadilan. Selain dalam praktek, pemangku kebijakan juga harus terus mengingatkan, jangan lupa bahwa adalah hak setiap anak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan dalam proses pendidikan termasuk perilaku toleransi dari lingkungannya, dari sekolah, dari semua stakeholder yang ada di sekolah,” tukasnya.
Dr. Chodidjah menambahkan bahwa pembelajaran toleransi tercakup dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). “Jadi, kalau berbicara sekolah di Indonesia tentunya kalau melihat undang-undang Sisdiknas setiap anak mendapatkan kesempatan, saya yakin semua sekolah berusaha untuk berlaku toleran dan mendidik anak-anak untuk bertindak toleran.”
Dr. Chodidjah mengakui bahwa dalam praktik di lapangan tentu masih ada kesenjangan dari satu daerah ke daerah lainnya, dari satu sekolah ke sekolah yang berbeda. “Selama ini hasilnya barangkali belum bisa dikatakan merata karena kami masih mendengar ada larangan-larangan tertentu yang dimasukkan ke dalam aturan tidak tertulis, tetapi dalam tindakan, dalam ucapan, dan sebagainya, yang mana semua ini harus bersama-sama kita selalu ingatkan.”
Sebagai anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, Dr, Chodidjah menegaskan, “bagaimana toleransi diajarkan dan diamalkan di sekolah menjadi bagian dari penilaian untuk sekolah terakreditasi atau tidak.”
“Salah satu butir yang ada itu berbicara tentang toleransi beragama….. Instrumen itu baru diperbaharui. It’s stated clearly in the document,” tambahnya.
Selain upaya pemerintah pada berbagai tingkatan, dari pusat hingga daerah, termasuk dengan upaya membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), kelompok- kelompok masyarakat di Indonesia juga peduli dengan pentingnya toleransi dengan membentuk berbagai forum antariman. Seperti banyak diberitakan di berbagai media massa di Indonesia, banyak sekolah, termasuk yang berbasis agama, juga melakukan kegiatan-kegiatan untuk mempromosikan toleransi.
Sebagai contoh, upaya tersebut dapat dijumpai di kota Jombang, Jawa Timur. Sekolah Dasar Kristen Petra di kota santri itu menjalin hubungan dengan Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah di kota yang sama, dengan saling kunjung.
Kepala SDK Petra Ririnurani Setianingrum mengatakan kepada VOA bahwa keinginan bersilahturami untuk membangun toleransi itu terpenuhi dengan dorongan pendeta gerejanya dan karena difasilitasi dan dimediasi oleh jaringan Gusdurian dan Lakpesdam NU Jombang.
“Jadilah kunjungan dilakukan ke Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Plosogenuk, Jombang,” ujarnya, seraya menambahkan “tujuan silaturahmi adalah untuk menjalin hubungan agar anak-anak saling kenal dan saling sayang, membangun toleransi dan inklusivitas.”
“Mereka menyatu, jadi membaur, ya anak-anak banget gitu lho, polos dan saya senang sekali melihatnya. Kalau misalnya kita perkenalkan yang baik, ini lho saudaramu walaupun berbeda agama, mereka harus saling kenal,” kata Ririn.
Senada dengan pendapat itu, Gus Nadlir, selaku kepala sekolah MI Islamiyah mengatakan bahwa dia menyambut gagasan pertemuan tersebut.
“Mungkin ini jalan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk lembaga kami belajar secara riil. Oleh karena itu kami ucapkan terima kasih kepada Gusdurian dan Lakpesdam yang memperkenalkan kami dengan pembelajaran seperti ini. Tujuan kami adalah menanamkan pada anak-anak didik kami toleransi, kebersamaan dan saling mengenal satu sama yang lain dan menambah teman serta saudara.”
Gus Nadlir menambahkan bahwa upaya menanamkan toleransi sejak dini itu mendapat tanggapan yang baik dari para siswa dan pemangku kepentingan di sekolahnya. “Alhamdulillah tujuan itu tercapai dengan baik. Anak-anak sangat senang. Ada dukungan dari pengawas kami untuk menyelenggarakan atau mengagendakan kegiatan selanjutnya. Untuk rencana kedepannya, kami masih menunggu COVID ini berlalu.”
Ririn juga mengatakan bahwa pada akhir kunjungan ke MI Islamiyah, anak-anak memberikan kesan-kesan mereka, antara lain anak-anak berjanji akan datang ke SDK Petra. Kunjungan balasan itupun akhirnya menjadi kenyataan pada bulan Ramadan lalu. “Ketika mau buka puasa bersama mereka kan salat magrib dulu. Ketika salat Maghrib saya itu sampai trenyuh. Ibu pendeta Diah, juga guru-guru yang lain, dan murid-murid saya yang saya libatkan di sore hari itu, mereka pegang selang air membantu mereka (para siswa dari MI Islamiyah) yang berwudhu.”
Ririn menyatakan harapannya bahwa kebersamaan yang selama ini terwujud terus bisa dipupuk. “Jombang sebagai kota santri bukan hanya slogannya, tetapi benar-benar santri karena santri itu kan artinya dekat dengan Tuhan atau orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh. Orang yang dekat dengan Tuhan itu biasanya sangat peduli dengan sesama."
Diharapkan bahwa acara dan cara menanamkan toleransi yang dilakukan oleh SDK Petra dan MI Islamiyah itu bisa direplikasi oleh sekolah-sekolah lain di Indonesia, karena seperti kata Setara Institute dalam siaran persnya, “toleransi adalah DNA bangsa Indonesia, yang secara historis diwariskan oleh nenek moyang agar antar anak bangsa yang berbeda suku, etnis, agama serta kepercayaan dapat saling berinteraksi, bergotong royong, dan bersama-sama membangun kerukunan dan harmoni.” [lt/ab]