Tautan-tautan Akses

Perempuan Angkat Senjata dalam Konflik di Ukraina


Seorang perempuan yang ikut bertempur dengan para pemberontak pro-Rusia dengan senjatanya di Nizhnaya Krinka, Ukraina timur (23/9). (Reuters/Marko Djurika)
Seorang perempuan yang ikut bertempur dengan para pemberontak pro-Rusia dengan senjatanya di Nizhnaya Krinka, Ukraina timur (23/9). (Reuters/Marko Djurika)

Pejuang perempuan di kedua belah pihak mengatakan pria-pria di unit mereka memperlakukan mereka dengan setara, meski terkadang mereka diberi kelonggaran.

Sebelum pertempuran pecah di Ukraina timur, Irina merupakan pegawai kasino yang tidak pernah bermimpi mengangkat senjata. Sekarang ia berjudi dengan hidupnya.

Dengan menggunakan samaran "Gaika", tokoh kartun yang berarti Gadget atau alat elektronik, ia telah bergabung dengan unit artileri dalam kelompok separatis pro-Rusia yang bertempur melawan pasukan pemerintah.

"Ketika rumahmu dihancurkan, segala hal yang berarti untukmu, teman, pekerjaan... Ini tentang karakter. Perempuan-perempuan yang pergi ke medan perang adalah perempuan-perempuan Rusia sebenarnya," ujarnya.

Bertempur adalah pengalaman berat namun ia tidak menyesalinya.

"Suara kendaraan besar, senjata Howitzer adalah yang akan paling diingat oleh saya," ujarnya. "Ingatan yang menyakitkan akan hilang. Kita mencoba fokus pada hal-hal yang positif, menyenangkan, bertemu teman. Ada begitu banyak teman di sekitar saya sekarang. Perang membawa orang lebih dekat."

Unitnya, berbasis di luar kota asalnya di Donetsk, lokasi utama pemberontakan di Ukraina timur, adalah bagian dari milisia pemberontak yang disebut Oplot dan termasuk enam perempuan -- dirinya, tiga petugas medis, seorang pejuang dan seorang spesialis pengintai.

"Tadinya saya ragu memperbolehkan perempuan masuk," ujar komandan Yesaul, seorang warga Cossack dari wilayah Luhansk tak jauh dari situ.

"Namun sekarang saya lebih percaya mereka daripada pria. Perempuan tidak suka minum dan saya terkadang betul-betul khawatir melihat kondisi pria-pria ini ketika mereka melepas lelah setelah misi."

Seperti pria-pria dalam konflik, perempuan-perempuan itu datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Seorang perempuan yang menyebut namanya Irina tadinya bekerja di pom bensin di kota Gorlovka.

"Rasa takut selalu ada. Tapi saya lebih takut ketika duduk di rumah dan mendengar tembakan berseliweran. Kemudian saya terbiasa dengan suara itu," ujarnya.

Irina tak lagi merasakan kenyamanan rumah, tapi tidak semuanya.

"Perang adalah perang tapi saya bagaimanapun masih perlu memakai riasan wajah," ujarnya, menunjuk pada kosmetik yang disimpan dekat jendela di kamarnya di sebuah bekas pabrik yang dijadikan markas pemberontak.

Konflik Panjang

Perempuan juga ada diantara para pejuang sukarela di pihak lain. Sekitar 10 perempuan telah bergabung dengan Batalion Shakhtarsk beranggotakan 150 orang yang berperang bersama pasukan pemerintah di hutan kecil sekitar 40 kilometer dari kota Dnipropetrovsk, 250 kilometer dari Donetsk.

Unit itu baru pulih dari pertempuran akhir Agustus lalu di sekitar kota Ilovaysk, di mana pasukan pemerintah dikepung dan kalah besar.

Seorang perawat berusia 20 tahun bernama Maria, yang ada diantara mereka yang ditembaki, mengatakan sekitar 30 orang di batalion tersebut tewas atau terluka.

"Saya tidak ingin terlibat, misalnya, dengan bantuan kemanusiaan karena harus ada yang membantu saat ada yang terluka. Banyak yang mati karena tidak ada yang melakukannya, jadi saya melakukannya," ujarnya.

Ia mengatakan pria dan perempuan "tinggal, makan dan bertempur bersama." Dalam pertempuran, ia hanya membawa pistol dan tas medis agar tangannya bebas membantu yang terluka.

Kawannya Alyona, 21, bergabung setelah ikut serta dalam protes anti-pemerintah di ibukota Kyiv, yang memuncak dengan penggulingan presiden yang simpatik dengan Moskow.

Awalnya ia bergabung dengan Garda Nasional tapi "kerjanya hanya menghalangi jalan dan memeriksa dokumen. Saya ingin bertempur."

"Itu hanya awal, gencatan senjata hanya sementara. Saya ingin berperang sampai akhir," ujarnya.

Beberapa perempuan datang untuk berjuang bersama suami-suami dan pacar-pacar mereka, yang lain masih lajang.

Pejuang perempuan di kedua belah pihak mengatakan pria-pria di unit mereka memperlakukan mereka dengan setara, meski terkadang mereka diberi kelonggaran. Mereka kurang hormat pada laki-laki yang tidak mengangkat senjata.

"Jika pria datang untuk bertempur, ia pria sejati. Pria sejati berperang," ujar pejuang pemberontak Gaika. "Mereka yang duduk-duduk saja di kota dan minum bir harusnya memakai rok. Memalukan."

Di kedua belah pihak, para pejuang memperkirakan konflik akan berlangsung lama, meski ada gencatan senjata yang rentan sekarang ini.

Seorang pejuang pemberontak berambut merah bernama Alla memperkirakan akan bertempur untuk waktu lama.

"Begitu banyak orang, perempuan dan anak-anak, yang tewas di pihak kami. Sekarang saya tidak ingin gencatan senjata," ujarnya.

Ia telah bersama para pemberontak separatis dari awal konflik, pertama kali sebagai tukang masak. Latihan menembak pertamanya ditujukan pada bebek di sungai dan sekarang ia memiliki pistol dan senapan.

"Mungkin saya tidak akan membunuh banyak dari mereka, tapi jika seseorang datang, saya akan menembaknya," ujarnya. (Reuters)

XS
SM
MD
LG