Tautan-tautan Akses

Perdebatan Soal ‘Allah’ Berlanjut di Malaysia


Pada demonstran Muslim meneriakkan slogan-slogan di luar pengadilan banding Malaysia di di Putrajaya, di luar Kuala Lumpur, Oktober 2013. (Foto: Dok)
Pada demonstran Muslim meneriakkan slogan-slogan di luar pengadilan banding Malaysia di di Putrajaya, di luar Kuala Lumpur, Oktober 2013. (Foto: Dok)

Konflik ini mengancam terjadinya krisis konstitusional karena jaminan federal atas kebebasan beragama ditantang oleh penegakan yang lebih keras dari aturan yang lebih minor.

Perseteruan panjang mengenai siapa yang boleh menyebut “Allah” di Malaysia kembali merebak, seiring proses Islamisasi yang banyak pihak lihat didorong oleh kekuatan-kekuatan politik yang mengancam mengikis konstitusi sekuler dan hak-hak minoritas dalam negara beragam suku itu, menyusul pemilihan umum yang memecah belah tahun lalu.

Sebuah keputusan pengadilan Oktober lalu yang memihak pemerintah bahwa Allah adalah eksklusif untuk Muslim, diikuti bulan ini dengan penyitaan lebih dari 300 Alkitab berbahasa Melayu oleh otoritas Islami menggunakan undang-undang yang tidak banyak diketahui.

Para pengacara mengatakan konflik tersebut sekarang mengancam terjadinya krisis konstitusional karena jaminan federal atas kebebasan beragama ditantang oleh penegakan yang lebih keras dari aturan yang jarang sekali digunakan dan keputusan-keputusan sultan kerajaan Malaysia, yang memiliki wewenang untuk menunjuk ulama dan memerintah polisi syariah.

Krisis ini tampak menajam pada Minggu (19/1) ketika Raja Malaysia, yang dianggap sebagai pelindung agama Islam, mendukung keputusan pengadilan pada Oktober. Ini untuk pertama kalinya raja mendukung isu semacam ini.

Kepolisian Malaysia telah merekomendasikan pastor Katolik ternama Lawrence Andrew untuk didakwa menghasut karena mengatakan gereja-gereja akan terus mengatakan Allah di Selangor, negara bagian terkaya dan terpadat, yang bertetangga dengan ibukota Kuala Lumpur.

Konflik ini merupakan kasus unik Malaysia, yang membuat bingung banyak cendekiawan agama bahkan di negara-negara yang dikenal menjalankan syariah Islam lebih ketat.

"Di Arab Saudi, semua orang dapat menggunakan kata Allah, tapi kita tidak bisa. Kita harus menghentikan ini. Kita telah menjadi bahan tertawaan dunia,” ujar Richenda Raphael, 25, seorang Katolik.

Keputusan pengadilan pada Oktober mengatakan surat kabar Katolik milik Andrew tidak dapat menggunakan kata Allah karena hal itu bukan “bagian integral dari iman Kristiani.” Sidang naik banding untuk Gereja Katolik akan berlangsung Maret.

Penyitaan Alkitab bulan ini sendiri didasarkan pada undang-undang negara bagian Selangor pada 1988 yang membatasi lebih dari 30 kata dan frase Bahasa Arab untuk Muslim.

Politik dan Agama

Para pengkritik mengatakan pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak, yang ada di bawah tekanan karena melonjaknya biaya hidup akibat pemotongan subsidi bahan bakar dan pangan, telah memberikan sinyal-sinyal yang tidak jelas mengenai isu ini dan buruknya lagi mendorong elemen-elemen Islamis konservatif di dalam partai United Malays National Organisation (UMNO) yang berkuasa.

Pemerintah telah condong menjauhi reformasi liberal dan lebih mendukung kelompok tradisionalis UMNO dan Islam sejak pemilihan umum Mei lalu, di mana pemilih yang berasal dari etnis China dan banyak warga Melayu di perkotaan meninggalkan koalisi yang berkuasa.

Meski mempromosikan Gerakan Global Moderat anti-ekstremis pada perjalanan-perjalanan ke luar negeri, di dalam negeri Najib membiarkan anggota-anggota partai senior dan para menteri untuk meningkatkan retorika mereka melawan apa yang dianggap sebagai ancaman-ancaman terhadap Islam arus utama. Kementerian Dalam Negeri bulan ini melarang sebuah kelompok masyarakat madani yang terkenal, sebagian karena beberapa anggotanya dianggap tidak Islami.

Namun ada risiko politik jika mereka tampak tidak membela Islam. Sebuah survei oleh University of Malaya menunjukkan bahwa 77 persen orang Melayu, yang beragama Islam dan mencakup 60 persen populasi, merasa kata Allah tidak boleh digunakan oleh agama lain.

"Ini kegagalan kolektif dari seluruh sistem dalam mempertahankan keseimbangan dan akal sehat antara ras-ras dan kelompok agama yang berbeda,” ujar Ahmad Fauzi Abdul Hamid, profesor madya bidang ilmu politik di Universiti Sains Malaysia.
Hal ini membuat umat Kristiani dalam kebingungan.

"Saya tidak suka sistem di Malaysia di mana politik dicampuradukkan dengan agama, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda dan sangat sensitive,” ujar Frendie Aloysius, 29, yang beragama Katolik. (Reuters/Stuart Grudgings)
XS
SM
MD
LG