Dini hari di awal Februari 2017, Febri Ramdani, tiba di Raqqa, Suriah, yang ketika itu menjadi ibu kota ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Ia tiba di sana tiga tahun setelah pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi mengumumkan berdirinya khilafah, negara berdasarkan syariat Islam yang menjadi impian sebagian kaum Muslim.
Kekecewaan menyeruak di hati pemuda berusia 20 tahun itu karena gambaran Raqqa tidak seperti yang diperlihatkan ISIS melalui video propaganda mereka sebar di berbagai media sosial.
Dalam acara peluncuran sekaligus bedah bukunya yang berjudul “300 Hari di Bumi Syam,” Febri, Selasa (11/2), mengatakan ia pergi ke Suriah bukan karena dorongan ideologi tapi karena rindu ibu dan kakaknya yang sudah lebih dulu pergi ke kota itu dua tahun sebelumnya.
Secara keseluruhan, pada Agustus 2015, 26 anggota keluarga besar Febri pergi ke Suriah tanpa memberitahu dan mengajak dirinya. Alasan yang dipakai waktu itu adalah untuk berobat.
Febri mengaku heran mengapa banyak kerabatnya, termasuk ibu dan kakaknya, rela meninggalkan Indonesia untuk terbang ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Dia pun mulai mencari tahu seperti apa Daulah Islamiyah yang ingin diciptakan ISIS tersebut.
Dari pencariannya di media sosial, pria berdarah campuran Madura dan Minangkabau ini melihat kota-kota di bawah kendali ISIS keadaannya bagus, tata kotanya rapih. Bahkan dalam propaganda ISIS, siapa yang hidup dalam Daulah Islamiyah akan mendapat jaminan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. ISIS juga membebaskan orang pergi ke sana bebas memilih profesi apa saja, tidak ada kewajiban untuk berperang.
Febri akhirnya semakin yakin untuk bergabung dengan Daulah Islamiyah bikinan ISIS dan pada September 2016 pergi ke sana lewat Turki. Perjalanan yang dilaluinya sangat sulit dan berliku, sampai-sampai baru lima bulan kemudian anak kedua dari empat bersaudara tersebut menjejakkan kaki di Raqqah. Ia juga sempat ditawan kelompok Jabhat Al Nusra, salah satu sayap Al-Qaeda di Suriah.
Singkat cerita, Febri akhirnya bertemu ibu dan kakaknya di Raqqa. Dia bersyukur keduanya dalam keadaan sehat. Mereka kaget kenapa dirinya malah datang untuk bergabung dengan ISIS karena mereka justru ingin pulang. Keduanya mengaku kehidupan di wilayah kekuasaan ISIS tidak sesuai yang dijanjikan.
"Satu tahun lebih hidup di sini (Raqqa.red) tidak mendapatkan apa yang dijanjikan oleh ISIS, malah kita (ibu dan kakak saya) mendapat intimidasi, diancam, dan segala macam. Mereka menjelaskan semua keburukan-keburukan yang ISIS lakukan," kata Febri.
Karena memang bukan oleh dorongan ideologi, Febri pun sepakat untuk pulang ke Indonesia bersama ibu dan kakaknya.
Sejak tiba di Suriah, Febri juga menolak ikut pendidikan agama dan pelatihan militer ISIS.
Galau, Dorong Banyak Orang Bergabung dengan ISIS
Menurut Ketua Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah, banyak orang-orang yang bergabung ke ISIS adalah mereka yang mengalami kegalauan karena terbelit persoalan, termasuk Febri yang galau karena orang tuanya bercerai.
Selain itu, lanjutnya, orang-orang bergabung dengan ISIS atau gerakan teror lainnya adalah orang-orang yang tadinya tidak taat beragama. Kemudian muncul semangat belajar agama yang sangat tinggi tapi belajar di ustad yang salah.
Lingkungan sosial juga mempengaruhi orang untuk bergabung dengan ISIS. Dalam kasus Febri, kakak iparnya sangat berpengaruh untuk mengajak keluarga Febri bergabung dengan ISIS di Suriah.
"Kakak iparnya yang bernama Hidayat sangat berpengaruh ternyata dalam keluarga besar itu (keluarga Febri). Saya ketahui kemudian beliaulah yang menarik seluruh keluarga masuk ke dalam kelompok ini," ujar Syauqillah.
Di samping itu, ada sosok laki-laki yang disebut sebagai “Om Bow,” karyawan di perusahaan milik Hidayat, kakak ipar Febri. Ia yang mengatur perjalanan keluarga besar Febri dan Febri sendiri hingga sampai ke Suriah.
Karena langsung menyadari bahwa ia telah tertipu, Febri setuju ketika diajak pulang ibu dan kakaknya. Mereka kemudian memanfaatkan kelompok penyelundup yang memang mencari uang bagi orang-orang ingin keluar dari kekangan ISIS.
Febri dan keluarganya membayar lima ribu dolar untuk keluar dari Raqqa dan dipindahkan ke wilayah yang dikuasai kelompok pemberontak Pasukan Demokratik Suriah SDF. Ia sempat mendekam di penjara SDF, sementara ibu dan kakaknya ditampung di kamp Ain Isa. Ketiganya baru diserahkan kembali kepada perwakilan pemerintah Indonesia di kota Irbil, yang merupakan bagian dari wilayah Kurdi, di bagian utara Irak.
Pada 12 Agustus 2017, pesawat membawa Febri, ibu, dan kakaknya pun mendarat di Soekarno-Hatta. Mereka tak habis menyampaikan rasa syukur karena dapat kembali ke tanah air setelah terpedaya propaganda ISIS di Suriah. [fw/em]