Menteri Agama Fachrul Razi adalah orang pertama yang menggulirkan wacana pemulangan WNI yang sebelumnya bergabung menjadi anggota ISIS di Irak dan Suriah.
“Badan Penanggulangan Terorisme dalam waktu dekat akan dipulangkan 600 orang yang sekarang tersesat di ISIS di Timur Tengah. Mereka dulu tergabung di ISIS untuk mendirikan negara yang mereka namakan khilafah,” ujarnya dalam sambutan di Hotel Discovery Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (1/2).
Fachrul Razi tidak menyebut tanggal pasti dan prosedur teknisnya, tetapi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD secara terpisah mengatakan sedang mengkaji tentang hal itu.
“Keputusan ada di tangan Presiden Jokowi,” ujar Mahfud pendek ketika dikonfirmasi VOA.
Jokowi Isyaratkan Tolak WNI Mantan Anggota ISIS
Presiden Joko Widodo secara diplomatis mengatakan masih akan melakukan “perhitungan, kalkulasi plus minus” dalam rapat terbatas.
Namun ketika didesak wartawan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/2), Jokowi dengan tegas mengatakan “kalau bertanya kepada saya, ini belum ratas loh ya… Saya akan bilang tidak! Tapi masih dirataskan,” ujarnya.
Butuh Kajian Serius
Beberapa pengamat yang diwawancarai VOA mendukung sikap tegas presiden.
Cendekiawan Nadhlatul Ulama Dr. Zuhairi Misrawi mengatakan setuju dengan sikap Jokowi karena “mereka mengancam keamanan dan kedamaian. ISIS adalah ancaman serius,” tegasnya.
Menurutnya 660-an WNI mantan anggota ISIS itu kini “stateless” atau tidak memiliki kewarganegaraan. “Mereka sudah memilih menjadi anggota ISIS, mereka stateless, dan mestinya tidak dipulangkan.”
Pakar hukum internasional di Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, mengatakan ada dua alasan yang membuat WNI yang tergabung dalam ISIS kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya.
Pertama, ujar Hikmahanto, sejak mereka menyatakan diri bergabung dengan ISIS yang dianggapnya sebagai entitas negara maka mereka telah sukarela menaggalkan kewarganegaraan Indonesianya. Kedua, menurut Pasal 23 huruf (d) dan (f) UU Kewarganegaraan No.12/2006, mereka yang bergabung dengan ISIS telah secara hukum gugur kewarganegaraan Indonesianya, imbuhnya.
Hikmahanto mengkritisi pernyataan juru bicara Wakil Presiden, Masduki Baidlowi, yang mengatakan berdasarkan UU Kewarganegaraan, pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan secara maksimum kepada WNI, sehingga perlu memperhatikan nasib 600-an mantan anggota ISIS asal Indonesia.
Menurut Hikmahanto, asas perlindungan secara maksimum dalam penjelasan umum UU Kewarganegaraan diberikan dalam keadaan apapun kepada WNI, di dalam dan luar negeri.
“Bila mereka bukan lagi WNI, lalu untuk keperluan apa pemerintah mempertimbangkan asas perlindungan maksimum sebagaimana diwacanakan oleh Masduki Baidlowi?," ujarnya.
Pemerintah Diminta Tolak Pemulangan Mantan Kombatan ISIS
Sementara pengamat intelijen dan keamanan negara Stanislaus Riyanta menyampaikan keprihatinan lain yang menurutnya harus dipertimbangkan serius oleh pemerintah, yaitu “bukti-bukti kuat tentang ideologi radikal yang ada di kepala mereka.”
Diwawancarai melalui telepon pada Rabu (5/2) malam, Stanislaus mengatakan “ketika bergabung dengan ISIS dan berangkat ke Suriah atau ke Irak, bersama keluarga, mereka melihat langsung bentuk-bentuk kekerasan. Mereka sudah punya ideologi sendiri."
"Jika mereka dipulangkan, akan menjadi permasalahan baru bagi pemerintah. Mengubah pandangan dan ideologi itu tidak seperti menyembuhkan orang sakit yang cukup diberi obat. Siapa bisa tahu isi kepala seseorang?,” ujarnya.
Stanislaus Riyanta juga tidak setuju jika pemerintah hanya menolak WNI laki-laki dan menerima kembali WNI perempuan dan anak-anak yang ikut dibawa suami atau ayah mereka ke Suriah dan Irak.
Ia mengingatkan kasus-kasus pemboman atau ledakan bom bunuh diri beberapa tahun terakhir, seperti bom panci di Sibolga dan bom bunuh diri di beberapa gereja di Surabaya. Para pelaku pemboman tersebut adalah perempuan dan anak-anak.
“Bagaimana mungkin kita melakukan assessment dan akhirnya memutuskan bahwa yang perempuan dan anak-anak aman untuk diterima kembali? Apa bisa program deradikalisasi menyaring mereka? Apa bisa kita atau keluarga atau tokoh masyarakat mereka memastikan untuk mengubah pola pikir mereka yang sudah radikal?,” tanyanya.
Mantan Teroris Tolak Pemulangan
Mantan teroris Sofyan Tsauri, yang pada 2002 pernah bergabung dengan jaringan Al Qaeda Asia Tenggara, diwawancarai VOA Kamis (6/2) malam juga menegaskan bahwa “walau mantan teroris, saya tidak setuju mereka (WNI mantan anggota ISIS.red) dipulangkan.”
“Bayangkan mereka telah berkhianat, mereka meninggalkan Indonesia, lalu bakar paspor, mereka hijrah dengan sumpah serapah," tambah Sofyan, yang juga pernah menjadi pemasok senjata pada teroris, khususnya yang ada di Aceh.
Data BNPT 2018: 1.321 WNI Ingin Gabung ISIS
Menurut Stanislaus Riyanta, berdasarkan data BNPT pada 2018 ada 1.321 WNI yang berusaha bergabung dengan ISIS di Suriah.
Sementara data The Soufan Center pada 2017 menyebut 600 WNI yang sudah bergabung dengan ISIS di Suriah, yang terdiri dari 113 perempuan, 100 anak-anak dan 387 laki-laki.
“Data 600an itu menjadi masuk akal, jika data BNPT terdapat 1.321 WNI yang mencoba bergabung dengan ISIS. Tidak semua dapat masuk ke Suriah karena sebagian dicegah ketika berangkat, dan sebagian tertahan di negara transit, seperti Turki, dan kemudian dideportasi,” kata Stanislaus.
Menteri Agama Fachrul Razi, yang pertama kali melempar wacana pemulangan WNI mantan anggota ISIS itu, berharap dapat melakukan pengawasan dan pembinaan agar mereka dapat kembali mencintai negara.
WNI Mantan ISIS Terlibat Bom Surabaya
Namun mengingat pernyataan Ketua BNPT Komjen Suhardi Alius di Majalah TEMPO pertengahan tahun lalu bahwa salah seorang dari 75 WNI mantan anggota ISIS – yang ditangkap ketika ingin masuk ke Suriah dan kemudian dideportasi oleh Turki pada 2017 – ternyata kemudian terlibat serangan bom di Surabaya pada 2018, apakah pemerintah masih berani mengambil risiko?
Serangan ledakan bom di Surabaya dan Sidoardjo, Jawa Timur, pada Mei 2018 lalu menewaskan 28 orang dan melukai 60 orang lainnya. [em/pp]