Tautan-tautan Akses

Pemerintah Harus Jujur dalam Tangani Papua


Sebuah pasar tradisional di Jayapura, provinsi Papua (foto: dok). Meski telah ditetapkan Otsus bagi Papua dan Papua barat, namun sekitar 70 persen masyarakat Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Sebuah pasar tradisional di Jayapura, provinsi Papua (foto: dok). Meski telah ditetapkan Otsus bagi Papua dan Papua barat, namun sekitar 70 persen masyarakat Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Peneliti kajian Papua, Adriana Elisabeth mengatakan butuh kejujuran dan keseriusan dari pemerintah untuk mengubah Papua menjadi lebih baik.

Dalam dialog di Jakarta Sabtu, Peneliti Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, Adriana Elisabeth berpendapat dibutukan kerjasama seluruh pihak untuk mengubah nasib Papua yang sampai saat ini masih sangat jauh dari sejahtera.

Ia menegaskan pemerintah harus jujur mengakui bahwa kehidupan masyarakat Papua belum layak sehingga dari kejujuran tersebut upaya penyelesaian berbagai konflik bisa lebih terarah dan dilakukan bersama. “Kita tetap berupaya untuk membuka dialog, dialog damai tentunya, dialog itu bukan proses yang instant, itu proses yang panjang, butuh persiapan yang sangat baik dan dialog itu tidak tiba-tiba manjadi dialog nasional, itu harus ada dialog internal baik di Papua dan juga di Jakarta untuk membicarakan semua hal. Mekanismenya seperti apa, representasi yang akan ikut dalam dialog termasuk agendanya bagaimana”, demikian ungkap Adriana Elisabeth.

Hal senada juga disampaikan anggota Komisi I DPR RI, komisi membidangi masalah politik dan luar negeri yang juga dari daerah pemilihan Papua, Paskalis Kosay. Menurutnya akar berbagai persoalan di Papua selama ini adalah karena tidak berjalannya implementasi otonomi khusus dengan baik.

Menurut Paskalis, butuh kemauan politik pemerintah untuk mengubah keadaan Papua agar bisa lebih baik. “Pemerintah ini bersedia mengevaluasi kinerja otonomi khusus, ini sudah sepuluh tahun, anggarannya sudah sekitar 30 triliun tapi belum ada hasil yang signifikan," kata Paskalis. "Harus bersedia duduk bersama untuk melakukan evaluasi otonomi khusus, dialog yang dikembangkan keinginan rakyat Papua. Dialog ini jangan dibiarkan, ini harus direspon masuk dalam kerangka otonomi khusus itu. Kalau ini dibiarkan, nanti melebar kemana-mana. Langkah berikutnya adalah tegakkan hukum tanpa pandang bulu siapa saja, entah itu aparat negara, aparat pemerintah daerah, kepastian hukum disana”, tambah anggota Komisi I ini.

Dalam kesempatan sama, staf khusus presiden bidang otonomi daerah yang juga kelahiran Papua, Felix Wanggai menegaskan pemerintah sangat ingin memajukan Papua agar lebih baik.

Keinginan tersebut ditambahkannya diantaranya sudah diwujudkan pemerintah melalui Peraturan Presiden nomor 6 tahun 2010 yaitu dibentuknya Unit Percepatan Pembangunan Papua atau UP3 dan Unit Percepatan Pembangunan Papua Barat atau UP3B. "Pertama, dengan pendekatan penataan kembali berbagai strategi pembangunan di Papua, kita ingin perdamaian melalui pembangunan. Dan yang kedua pendekatan yang bersifat HAM dan politik, tim khusus langsung di bawah presiden untuk melakukan komunikasi yang lebih konstruktif dengan saudara-saudara kita di Papua, memetakan persoalan kemudian berbagai komponen-komponen anak bangsa di Papua sehingga mudah-mudahan aspirasi yang berkembang di masyarakat Papua dan bagaimana persepsi dari Jakarta melihat Papua juga bisa dirumuskan dengan baik”.

Tahun ini pemerintah mengalokasikan anggaran otonomi khusus untuk Papua sebesar 28 triliun rupiah dan untuk Papua Barat sebesar 1,5 triliun rupiah.

XS
SM
MD
LG