Sekelompok peneliti HAM secara resmi meluncurkan situs web pada hari Rabu (1/11) yang mereka harap dapat membantu para korban kekerasan militer di Myanmar untuk mendapatkan keadilan.
Sejak tentara merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, ribuan orang tewas akibat tindakan pasukan keamanan yang berupaya meredam perlawanan prodemokrasi. Menurut PBB, lebih dari 1,8 juta orang terpaksa mengungsi akibat serangan militer, yang menurut para kritikus merupakan pelanggaran berat terhadap HAM.
Kejahatan perang menjadi lebih mudah untuk didokumentasikan dalam beberapa tahun terakhir berkat keberadaan kamera ponsel di mana-mana dan akses yang hampir universal ke media sosial, di mana bukti foto dan video dapat dengan mudah diposting dan dilihat.
Namun lebih sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kejahatan tersebut, terutama para jenderal dan perwira tinggi lainnya di belakang layar yang membuat rencana dan memberi perintah.
“Para jenderal dan perwira berpangkat lebih rendah harus takut diseret ke pengadilan dan dipenjara karena kejahatan yang mereka perintahkan atau izinkan,” Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, mengatakan kepada AP melalui email.
“Penelitian harus bergerak lebih dari sekadar menyatakan hal yang sudah jelas – bahwa kejahatan sedang terjadi dan menghubungkan mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman tertentu. Para korban kejahatan ini berhak mendapatkan keadilan dan hal ini memerlukan penelitian yang diperlukan untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab,” katanya.
Situs web baru, myanmar.securityforcemonitor.org, merupakan versi online interaktif dari sebuah laporan, “Di Bawah Perintah Siapa? — Pelanggaran HAM di bawah pemerintahan militer Myanmar,” yang disusun oleh Security Force Monitor (SFM), sebuah proyek di Columbia Law School Human Rights Institute, untuk menghubungkan dugaan kejahatan dengan para pelakunya.
Tim proyek menyusun linimasa para komandan senior dan penempatan mereka, yang dapat dikorelasikan dengan contoh-contoh terdokumentasi tentang dugaan kekejaman yang terjadi di bawah komando mereka. Hal ini mengungkap rantai komando militer, mengidentifikasi komandan senior militer dan menunjukkan hubungan dugaan pelanggaran HAM terhadap para komandan tersebut, kata pendiri sekaligus direktur SFM Tony Wilson kepada Associated Press dalam sebuah wawancara email.
“Ini adalah salah satu bagian dari teka-teki yang sampai sekarang belum ada dalam hal akuntabilitas, menunjukkan bagaimana sistem bekerja dan bahwa pelanggaran ini bukan hanya diakibatkan oleh unit yang nakal atau tentara secara individu,” katanya.
Wilson mengatakan data Myanmar menunjukkan bahwa 65 persen, atau 51 dari 79 komandan senior militer antara akhir Maret 2011 dan akhir Maret tahun ini, “telah diduga melakukan penghilangan paksa, pembunuhan, pemerkosaan atau penyiksaan yang dilakukan oleh unit-unit di bawah komando mereka. ”
Ia mengatakan penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa perwira yang paling banyak dikaitkan dengan pelanggaran HAM yang serius adalah Jenderal Mya Htun Oo, yang menjadi menteri pertahanan dan anggota dewan militer yang berkuasa ketika militer merebut kekuasaan pada tahun 2021. Ia juga menjadi wakil perdana menteri pada tahun 2023. [ab/uh]
Forum