Tautan-tautan Akses

Penangkap Kabut Ubah Embun Jadi Air


Jaring penangkap kabut di Gunung Boutmezguida, Maroko, 21 Februari 2018 (foto: Thomson Reuters Foundation/Khalid Fakhar)
Jaring penangkap kabut di Gunung Boutmezguida, Maroko, 21 Februari 2018 (foto: Thomson Reuters Foundation/Khalid Fakhar)

Tumbuh besar di Gunung Boutmezguida, di baratdaya Maroko, di tepi gurun Sahara, Khadija Ghouate tidak pernah membayangkan kabut yang menyelimuti puncak-puncak gunung di sekitarnya dapat mengubah hidupnya.

Ghouate dan perempuan lainnya dari desa sekitar menghabiskan waktu berjam-jam kadang sebelum matahari terbit untuk menempuh jarak 5 km untuk mengambil air dari sumur-sumur terbuka, di mana banyak anak perempuan yang berhenti sekolah untuk membantu dengan risiko terjadinya kekerasan di jalur yang sunyi ini.

Namun dengan semakin menurunnya permukaan air tanah karena eksploitasi berlebih, musim kering, dan perubahan iklim, tantangan untuk mendapatkan air sehari-hari menjadi semakin sulit, dan hampir separuh warga di daerah itu memutuskan untuk meninggalkan desa yang telah mereka tinggali selama beberapa generasi untuk mencari penghidupan di kota.

Dengan terancamnya masa depan tradisi suku Berber di daerah Gunung Boutmezguida, sebagai seorang ahli matematika yang keluarganya berasal dari daerah itu akhirnya mendapatkan ide cemerlang yang terinspirasi dari kehidupannya di luar negeri – mengubah kabut menjadi air.

Sekarang desa tempat Ghouate tinggal terhubung kepada proyek pengumpul kabut terbesar di dunia, menghapus kebutuhan untuk mengumpulkan air yang sebagian besar menjadi tanggung jawab wanita, dan dengan peralatan canggih menjadi contoh bagi proyek-proyek lainnya di tingkat global.

“Anda hampir selalu harus pergi ke sumur, menghabiskan waktu di sana, pagi dan petang,” ujar Ghouate, ibu beranak tiga, sambil mempersiapkan makan siang bagi keluarganya dan menunjukkan keran di rumahnya.

“Sekarang air sudah mengalir ke rumah kami. Saya suka sekali dengan kabut.”

Proyek yang berjalan sejak tahun 2015 setelah pelaksanaan survei dan uji coba selama sembilan tahun, didirikan oleh LSM Maroko, Dar Si Hmad, yang berupaya untuk mendorong dan melindungi budaya lokal, sejarah, dan pusaka.

Proyek ini adalah gagasan dari ahli matematika dan pengusaha Aissa Derhem yang orang tuanya berasal dari Gunung Boutmezguida, di mana lereng gunungnya selalu diselimuti embun rata-rata 130 hari dalam setahun.

Derhem pertama kali mengetahui tentang jaring pengumpul kabut saat mengamati proyek pengumpul kabut pertama di dunia, di Gurun Pasir Atacama Chile, ketika tinggal di Kanada di tahun 1980-an saat kuliah untuk mendapatkan gelar PhD nya.

Namun proyek ini tidak terwujud hingga saat ia mengunjungi desa orang tuanya dan menyadari bahwa lokasi bergunung-gunung, yang terletak di tepi gurun Sahara dan berjarak sekitar 35 km dari Samudra Atlantik, sebuah tempat sempurna untuk kabut.

Lokasi Ideal

Embun terkumpul di kawasan pesisir di mana arus laut yang dingin, sebuah antisiklon dan penghalang di daratan, seperti deretan pegunungan, bertemu.

“Saat air laut menguap, antisiklon … berhenti menjadi hujan, dan ketika arus itu menghantam pegunungan, di saat itulah kabut dapat dikumpulkan,” ujar Derhem kepada Thomson Reuters Foundation, seraya memandang dari puncak Gunung Boutmezguida di samping sebuah bangunan kecil yang digunakan untuk pengamatan kabut dan tempat penyimpan alat.

Apabila kita mengamati planet ini, kita melihat semua fenomena ini terjadi di seluruh kawasan tropis … di Chile dan Peru di Amerika Latin. Gurun pasir Kalahari di Afrika. Di Australia Barat. Di sekitar gurun pasir Thar di India dan di California,” ujarnya sambil memberikan beberapa contoh.

Dikembangkan di Amerika Selatan pada tahun 1980-an, sejak itu proyek pengumpul kabut menyebar secara global ke negara-negara seperti Guatemala, Ghana, Eritrea, Nepal, dan Amerika Serikat.

Di Maroko, Dar Si Hmad telah membangun sistem jaring yang terbentang di daerah seluas 870 meter persegi, sekitar 4,5 kali luas lapangan tenis.

Semua jaring ini digantung di antara dua tiang dan saat angin mendorong kabut melalui jaringan ini butir-butir air terperangkap, mengembun, dan jatuh ke wadah di dasar unit dengan pipa yang menghubungkan air ke tempat-tempat penampungan.

Derhem berharap keberhasilan skema di Gunung Boutmezguida dapat membantu daerah-daerah lainnya di Afrika Barat dan di Afrika Utara – di mana badan FAO PBB mengatakan sumber cadangan air bersih termasuk yang terendah di dunia.

Hasil studi menunjukkan perubahan iklim berdampak pada pola air secara gloal dan Derhem mengatakan di Maroko tingkat ketersediaan air telah mengalami penurunan menjadi 500 meter kubik per orang per tahun dari sekitar 1.500 meter kubik per orang per tahun di tahun 1960-an berdasarkan perhitungan angka-angka yang diberikan pemerintah.

Tantangannya Juga

Prinsip-prinsip di balik pengumpulan kabut sebenarnya sederhana, dan dengan mempelajari contoh-contoh di alam tentang cara mahluk hidup menangkap uap air dari udara bahkan dalam kondisi paling gersang sekalipun, berkisar dari kumbang di Gurun Pasir Namibia hingga kadal di daerah terpencil di Australia.

Namun menciptakan proyek pengumpulan air dalam skala besar juga memiliki tantangan tersediri, karena penelitian dan pengembangan, selain juga infrastruktur dan teknologi yang terlibat dalam memperluas dan mengembangkan proyek pengumpulan kabut, dapat memakan biaya yang tidak sedikit.

Namun proyek di Gunung Boutmezguida, telah menjadi pionir bagi proyek-proyek lainnya karena peralatan yang digunakannya, menurut para pendirinya.

Jaring asli yang digunakan tidak cukup kuat untuk menahan angin kencang dan tercabik-cabik namun dengan kemitraan bersama lembaga nirlaba asal Jerman, Water Foundation, memungkinkan Dar Si Hmad mengembangkan jaring yang lebih kuat.

CloudFisher digambarkan oleh WaterFoundation sebagai pengumpul kabut bebas perawatan pertama yang dapat menahan angin dengan kecepatan hingga 120 km/jam dengan bak fleksibel yang mengikuti pergerakan jaring sesuai dengan hembusan angin.

Sekarang air yang terkumpul disaring dan digabung dengan air tanah sebelum didistribusikan ke desa-desa yang terhubung dalam jaringan distribusi di mana para pengguna membayar penggunaan air lewat sistem prabayar.

Proyek perintis awalnya melayani lima desa. Saat ini, dengan jaring seluas 870 meter persegi yang telah terpasang, proyek ini dapat menjangkau 140 KK – 14 desa – sementara jaring kedua saat ini tengah dibangun.

“Kabut seperti asal mula pesawat terbang. Awalnya hanya mainan kecil namun, dengan berbagai upaya, banyak hal yang telah berubah … namun butuh investasi,” ujar Derhem.

“Di sepanjang pantai, ada tiga kali lebih banyak kabut dibandingkan dengan yang ada di Gunung Boutmezguida. Pemerintah menghabiskan dana jutaan untuk proses desalinasi air. Teknologi pengumpul kabut ini sesuatu yang layak dijajaki.”

Karena dengan sumur-sumur yang kering bukan hanya timbul kecemasan dan risiko tapi juga mengikis mata pencaharian dan komunitas tradisional.

Mohamed Zabour, ketua dewan kota setempat, mengatakan lebih dari 60 persen warga kawasan itu hidup tanpa aliran air bersih di rumah-rumah mereka.

Antara tahun 2004 dan 2014, 2.000 dari 5.000 warga lokal pindah ke perkotaan.

“Daerah kami sebenarnya kaya namun butuh infrastruktur. Dan air adalah satu dari prioritas tersebut,” ujar Zabour.

“Apabila kita tidak menemukan jalan keluarnya dalam 10 tahun ke depan, maka ini akan menjadi bencana … akan menjadi seperti gurun pasir. Kosong.”

Bagi Ghouate, skema pengumpulan kabut telah meningkatkan kehidupan di desa.

“Saat kita masih kanak-kanak, kita bahkan tidak tahu apa artinya kebutuhan akan air … Sekarang ada lebih sedikit curah hujan dan apabila saya tetap harus pergi ke sumur-sumur, saya tidak akan menemukan cukup air sekarang,” ujarnya. “Segalanya terkait dengan air, segalanya. Saya tidak perlu khawatir lagi.” [ww/dw]

XS
SM
MD
LG