Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, menyambut baik langkah pemerintah pusat membatalkan 824 peraturan daerah (perda) yang dinilai bermasalah.
Menurutnya, sejak Undang-Undang Otonomi Daerah diberlakukan pada 2002, banyak perda, terutama perda terkait retribusi dan pajak, yang memberatkan investor karena harus menyetor sejumlah dana ke Pemda.
”Memang sebagian besar dari perda-perda yang bermasalah tidak punya justifikasi yang kuat. Mengapa pemerintah daerah mengeluarkan perda-perda retribusi dan pajak, dana-dana hasil pungutan dari retribusi dan pajak daerah yang tidak jelas penggunaannya,” ujarnya pada VOA Senin (27/8).
Menurut Syarif, agar semangat otonomi daerah tidak menyimpang dari tujuannya yaitu menciptakan kesejahteraan di daerah, seharusnya penerapannnya melibatkan berbagai kalangan. Ia menegaskan jika pemerintah pusat atau pemerintah daerah saja sebagai pengambil keputusan tanpa melibatkan masyarakat maka desentralisasi sulit diwujudkan.
“Untuk menyelesaikan masalah ini kata kuncinya adalah reformasi desentralisasi, dengan mengatur relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil,” ujarnya.
Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan pemerintah sedang memroses pembatalan 824 perda karena berpotensi memunculkan ekonomi biaya tinggi bagi para investor. Selain itu pemerintah akan mempercepat proses perizinan usaha yang semula sekitar 60 hari menjadi sekitar 17 hari. Upaya-upaya tersebut ditegaskan pemerintah untuk menumbuhkan ekonomi yang selama ini mengandalkan pendapatan pajak, namun kedepannya nanti investasi juga masuk sebagai sektor andalan.
Aktivis dari Indonesia Budget Center, Arif Nur Alam, berpendapat, munculnya perda bermasalah karena antara pemerintah pusat dan daerah tidak terbuka soal anggaran masing-masing pihak. Padahal menurutnya dibutuhkan tranparansi dalam proses menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena rakyat berhak mengetahui. Selama ini dinilainya terlalu banyak kepentingan pemerintah pusat dan daerah melalui berbagai aturan ekonomi.
“Hal yang harus dilihat adalah apakah proses-proses politik anggaran itu dilakukan atas dasar menjawab problem yang dihadapi oleh masyarakat. Proses-proses politiknya harus terbuka, tidak seperti selama ini dilakukan secara tertutup. Proses politik nasional dan daerah harus bersinergi,” ujarnya.
Menurutnya, sejak Undang-Undang Otonomi Daerah diberlakukan pada 2002, banyak perda, terutama perda terkait retribusi dan pajak, yang memberatkan investor karena harus menyetor sejumlah dana ke Pemda.
”Memang sebagian besar dari perda-perda yang bermasalah tidak punya justifikasi yang kuat. Mengapa pemerintah daerah mengeluarkan perda-perda retribusi dan pajak, dana-dana hasil pungutan dari retribusi dan pajak daerah yang tidak jelas penggunaannya,” ujarnya pada VOA Senin (27/8).
Menurut Syarif, agar semangat otonomi daerah tidak menyimpang dari tujuannya yaitu menciptakan kesejahteraan di daerah, seharusnya penerapannnya melibatkan berbagai kalangan. Ia menegaskan jika pemerintah pusat atau pemerintah daerah saja sebagai pengambil keputusan tanpa melibatkan masyarakat maka desentralisasi sulit diwujudkan.
“Untuk menyelesaikan masalah ini kata kuncinya adalah reformasi desentralisasi, dengan mengatur relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil,” ujarnya.
Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan pemerintah sedang memroses pembatalan 824 perda karena berpotensi memunculkan ekonomi biaya tinggi bagi para investor. Selain itu pemerintah akan mempercepat proses perizinan usaha yang semula sekitar 60 hari menjadi sekitar 17 hari. Upaya-upaya tersebut ditegaskan pemerintah untuk menumbuhkan ekonomi yang selama ini mengandalkan pendapatan pajak, namun kedepannya nanti investasi juga masuk sebagai sektor andalan.
Aktivis dari Indonesia Budget Center, Arif Nur Alam, berpendapat, munculnya perda bermasalah karena antara pemerintah pusat dan daerah tidak terbuka soal anggaran masing-masing pihak. Padahal menurutnya dibutuhkan tranparansi dalam proses menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena rakyat berhak mengetahui. Selama ini dinilainya terlalu banyak kepentingan pemerintah pusat dan daerah melalui berbagai aturan ekonomi.
“Hal yang harus dilihat adalah apakah proses-proses politik anggaran itu dilakukan atas dasar menjawab problem yang dihadapi oleh masyarakat. Proses-proses politiknya harus terbuka, tidak seperti selama ini dilakukan secara tertutup. Proses politik nasional dan daerah harus bersinergi,” ujarnya.