BANGKOK —
Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, Valerie Amos, bertemu Presiden Burma Thein Sein hari Kamis setelah mengunjungi kamp-kamp orang yang kehilangan tempat tinggal di seluruh negara itu.
Amos mengunjungi negara bagian Kachin, di mana pertempuran antara pasukan pemerintah dan kelompok pemberontak di sepanjang perbatasan dengan Tiongkok mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal, Ia juga berkunjung ke Negara bagian Rakhine, Burma barat, di mana bentrokan antara warga Rakhine yang beragama Buddha dan kelompok minoritas Muslim menewaskan hampir 200 orang dan menyebabkan 115.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Yang terkena dampak terparah adalah etnis Rohingya, kelompok minoritas Muslim yang tidak berkewarganegaraan yang dipandang sebagai salah satu komunitas paling tertindas di dunia.
Para pejabat PBB mengatakan Amos akan membahas isu kewarganegaraaan bagi etnis Rohingya dengan Presiden Thein Sein.
Menurut Stewart Davies, juru bicara Kantor Koordinator Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA PBB) di Burma, Presiden Thein Sein mengatakan, Burma perlu menyelesaikan isu kewarganegaraan itu dengan cara yang positif dan memasukkan semua unsur masyarakat.
“Saya rasa, Amos pasti akan mendukung upaya itu dan sangat mungkin akan berupaya mendorong langkah pragmatis serta penentuan kerangka waktu penyelesaian masalah itu,” ujarnya.
Kewarganegaraan bagi etnis Rohingya merupakan isu peka di Burma, di mana kebanyakan orang dan pemerintah lebih cenderung menyebut mereka sebagai etnis Bengali. Istilah itu merujuk kepada pandangan yang menganggap mereka sebagai migran gelap dari Bangladesh, meskipun kenyataan, banyak di antara mereka telah tinggal di Burma turun temurun.
Kebanyakan orang yang kehilangan tempat tinggal di kamp-kamp di Negara bagian Rakhine adalah etnis Rohingya. Tetapi, karena ketegangan yang terus berlangsung, para petugas bantuan kemanusiaan diancam dan digertak karena berusaha membantu mereka.
OCHA PBB mengutip Amos mengatakan, tingkat bantuan di setiap kamp berbeda dan ancaman keamanan adalah masalah besar. Ia juga mengatakan, kondisi kamp tidak memenuhi standar dan penuh sesak.
Davies mengatakan, Amos akan mendesak Presiden Thein Sein agar menyediakan akses yang lebih baik dan memperbaiki kondisi kamp.
Phil Robertson, wakil direktur kelompok Human Rights Watch untuk Asia, mengatakan kunjungan kepala urusan kemanusiaan PBB itu dan komentar-komentarnya menggarisbawahi masalah-masalah di Negara bagian Rakhine, yang juga dikenal senagai Arakan.
“Komentarnya merupakan pengakuan atas situasi yang menyedihkan yang dihadapi orang-orang di kamp-kamp di Negara bagian Arakan. Itu cerminan kenyataan dan merupakan tuduhan atas kebijakan pemisahan etnis yang nyata dilakukan pemerintah Burma,” paparnya.
Robertson mengatakan pemerintah harus mencari jalan agar kedua kelompok etnis itu bisa hidup berdampingan jika ingin mencari penyelesaian jangka panjang bagi masalah itu.
Amos mengunjungi negara bagian Kachin, di mana pertempuran antara pasukan pemerintah dan kelompok pemberontak di sepanjang perbatasan dengan Tiongkok mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal, Ia juga berkunjung ke Negara bagian Rakhine, Burma barat, di mana bentrokan antara warga Rakhine yang beragama Buddha dan kelompok minoritas Muslim menewaskan hampir 200 orang dan menyebabkan 115.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Yang terkena dampak terparah adalah etnis Rohingya, kelompok minoritas Muslim yang tidak berkewarganegaraan yang dipandang sebagai salah satu komunitas paling tertindas di dunia.
Para pejabat PBB mengatakan Amos akan membahas isu kewarganegaraaan bagi etnis Rohingya dengan Presiden Thein Sein.
Menurut Stewart Davies, juru bicara Kantor Koordinator Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA PBB) di Burma, Presiden Thein Sein mengatakan, Burma perlu menyelesaikan isu kewarganegaraan itu dengan cara yang positif dan memasukkan semua unsur masyarakat.
“Saya rasa, Amos pasti akan mendukung upaya itu dan sangat mungkin akan berupaya mendorong langkah pragmatis serta penentuan kerangka waktu penyelesaian masalah itu,” ujarnya.
Kewarganegaraan bagi etnis Rohingya merupakan isu peka di Burma, di mana kebanyakan orang dan pemerintah lebih cenderung menyebut mereka sebagai etnis Bengali. Istilah itu merujuk kepada pandangan yang menganggap mereka sebagai migran gelap dari Bangladesh, meskipun kenyataan, banyak di antara mereka telah tinggal di Burma turun temurun.
Kebanyakan orang yang kehilangan tempat tinggal di kamp-kamp di Negara bagian Rakhine adalah etnis Rohingya. Tetapi, karena ketegangan yang terus berlangsung, para petugas bantuan kemanusiaan diancam dan digertak karena berusaha membantu mereka.
OCHA PBB mengutip Amos mengatakan, tingkat bantuan di setiap kamp berbeda dan ancaman keamanan adalah masalah besar. Ia juga mengatakan, kondisi kamp tidak memenuhi standar dan penuh sesak.
Davies mengatakan, Amos akan mendesak Presiden Thein Sein agar menyediakan akses yang lebih baik dan memperbaiki kondisi kamp.
Phil Robertson, wakil direktur kelompok Human Rights Watch untuk Asia, mengatakan kunjungan kepala urusan kemanusiaan PBB itu dan komentar-komentarnya menggarisbawahi masalah-masalah di Negara bagian Rakhine, yang juga dikenal senagai Arakan.
“Komentarnya merupakan pengakuan atas situasi yang menyedihkan yang dihadapi orang-orang di kamp-kamp di Negara bagian Arakan. Itu cerminan kenyataan dan merupakan tuduhan atas kebijakan pemisahan etnis yang nyata dilakukan pemerintah Burma,” paparnya.
Robertson mengatakan pemerintah harus mencari jalan agar kedua kelompok etnis itu bisa hidup berdampingan jika ingin mencari penyelesaian jangka panjang bagi masalah itu.