Mesir telah menjadi bagian terpenting dari strategi Amerika di Timur Tengah. Salah satu kekhawatiran utama jika rezim Presiden Hosni Mubarak tumbang adalah, pemerintah baru mungkin kurang bersahabat dengan Washington dan bisa jadi akan membatalkan perjanjian damai dengan Israel yang telah berlangsung selama 32 tahun.
Mesir adalah negara pertama yang membuat perjanjian damai bersejarah dengan Israel tahun 1979, tetapi dikenal di Timur Tengah sebagai "perdamaian dingin." Kedua pemerintah bekerjasama dalam bidang keamanan dan ekonomi, tetapi ada sedikit kehangatan di antara rakyat.
Di Mesir, menganggap Presiden Hosni Mubarak sebagai orang Yahudi adalah salah satu penghinaan terburuk yang bisa dibayangkan. Dalam beberapa hari terakhir, pemimpin Mesir itu muncul pada beberapa poster demonstran anti-pemerintah dengan Bintang Daud dicat di dahinya.
Tetapi sebagian besar para demonstran muda anti-Mubarak, seperti Essam Nermine 20 tahun, berfokus pada hal-hal lain.
"Kami tidak punya masalah dengan Amerika. Dengan Israel, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Tetapi jika [Mubarak] tidak punya masalah dengan orang asing, dia punya masalah besar dengan orang Mesir. Ini lebih dari cukup!", demikian kata Essam.
Pihak oposisi politik juga lebih melihat ke dalam. George Ishaq dari partai Kefaya mengatakan masih terlalu dini untuk membuat asumsi mengenai kebijakan pasca-Mubarak.
Ishaq mengingatkan, "Jangan membuat visi terlebih dahulu, karena hidup kami sangat terganggu."
Tapi jelas ada sentimen anti-Israel dan anti-Amerika di pihak oposisi. Ikhwanul Muslimin sering menuduh Presiden Mubarak memihak kepentingan Israel dan Amerika daripada rakyat Mesir.
Dan bahkan oposisi dari golongan moderat, seperti halnya Ishaq, ragu ketika ditanya tentang masa depan perjanjian damai dengan Israel. Menurut Ishaq, "Tidak ada perjanjian yang bisa bertahan selama 30 tahun tanpa sesuatu perubahan."
Dan perubahan adalah yang ingin dicegah demonstran pendukung Mubarak. Salah seorang pendukung Mubarak mengatakan bahwa rezim Mubarak telah menjadi benteng dalam menentang radikalisasi di Mesir. Ia mengatakan, "Kita (bisa) melihat apa yang terjadi di Irak dan negara-negara lain. Kami ingin alasan untuk menang.”
Pihak oposisi terdiri dari pengawal tua dan generasi muda. Dan keduanya tampaknya setuju bahwa tidak akan ada perubahan kebijakan luar negeri di Mesir pasca-Mubarak, paling tidak sebelum mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri.