Partai-partai politik Irak, Senin (16/12), kesulitan untuk mencapai konsensus mengenai siapa yang akan menjadi perdana menteri baru di tengah serangkaian demonstrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya sementara batas waktu untuk pemilihan parlemen semakin dekat.
Faksi-faksi yang bersaing di Irak, biasanya terlibat dalam diskusi sebelum mencapai keputusan resmi, tetapi upaya mengganti perdana menteri Adel Abdel Mahdi semakin rumit oleh gerakan demonstrasi selama berbulan-bulan yang memaksa pengunduran dirinya.
Selama lebih dari dua bulan, Baghdad dan Irak selatan yang mayoritas Syiah diguncang demonstrasi anti pemerintah dan anti Iran, dan penolakan terhadap politisi yang berasal dari "sistem korup" yang eksis sejak jatuhnya Saddam Hussein pada 2003.
Gerakan demonstrasi pecah tanggal 1 Oktober dan ditanggapi oleh penindasan disertai kekerasan, dimana sekitar 460 orang telah tewas dan 25.000 lainnya mengalami luka-luka, sejauh ini.
Pengunduran diri Abdel Mahdi pada 1 Desember dipicu oleh gelombang kekerasan terhadap demonstran dan intervensi oleh ulama Syiah Ayatollah Agung Ali Sistani, yang pengaruhnya dirasakan sangar besar dalam politik Irak.
Abdel Mahdi terus menjalankan pemerintahan sehari-hari sambil menunggu penunjukan perdana menteri baru penggantinya.
Dalam surat resmi yang dipublikasikan Minggu malam, Presiden Barham Saleh mengatakan ia menerima surat dari ketua parlemen yang menerima pengunduran diri Abdel Mahdi "pada 4 Desember".
Menurut konstitusi, parlemen punya waktu dua minggu untuk menunjuk perdana menteri baru, selambat-lambatnya Kamis. (my/jm)