Perjuangan melawan ISIS dan kelompok ekstremis lainnya, menjadi pusat perhatian para pemimpin dunia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Presiden AS Barack Obama, selaku tuan rumah KTT Kontra Teroris, mencari dukungan negara-negara anggota PBB guna melawan ISIS dan aksi ekstremis yang disertai kekerasan.
“Mengalahkan ISIS di medan perang saja tidak cukup. Pertama-tama kita harus mencegah mereka meradikalisasi, merekrut dan menginspirasi orang-orang untuk melakukan kekerasan. Dan ini berarti kita harus mengalahkan ideologi mereka,” ujarnya.
KTT ini diselenggarakan sehari setelah Obama beradu pandangan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, terkait solusi krisis Suriah. Setelah pertemuan empat mata, jabat tangan keduanya pun tampak dingin. Obama berpandangan solusi Suriah harus mencakup turunnya Presiden Suriah Bashar Al-Assad. Sedangkan Putin berkeras mengikutsertakan Assad dalam koalisi internasional untuk melawan ISIS.
“Adalah sebuah kesalahan besar apabila menolak bekerja sama dengan pemerintah Suriah dan pasukan bersenjatanya yang terus memerangi teroris. Kita harus mengakui bahwa selain pasukan bersenjata Presiden Assad dan milisi Kurdi yang benar-benar memerangi ISIS dan organisasi teroris lain di Suriah, tidak ada kekuatan lain yang melawan mereka,” ujar Putin.
Krisis Suriah kini memasuki tahun kelima, menewaskan ratusan ribu orang dan menimbulkan gelombang jutaan pengungsi.
Di markas besar PBB, upaya menyelesaikan krisis Suriah, kini didominasi perseteruan antara AS dan Rusia, khususnya setelah Rusia meningkatkan kehadiran militernya di Suriah awal bulan ini.
Berbagai kekuatan kawasan dan dunia telah terseret dalam konflik Suriah. Rusia dan Iran, mendukung pemerintah Al-Assad yang beraliran Alawiyah. Sementara Turki, Arab Saudi dan Qatar mendukung oposisi yang mayoritas Sunni, bersama dengan AS, Inggris dan Prancis.
Dalam KTT Kontra Teroris, posisi Indonesia adalah bahwa ekstremis di suatu negara tidak bisa dilawan dengan intervensi militer negara lain. Ini disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menjadi ketua delegasi Indonesia dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-70.
“Kenapa timbul ekstrimisme? Karena pihak-pihak yang dulu berkonflik, kehilangan leadership dan struktur maka timbul seperti itu. Indonesia berpendapat ayo kita perbaiki, jangan ada intervensi dari negara luar. Jangan ada intervensi militer pihak ketiga apapun tujuannya, termasuk ingin menegakkan demokrasi di suatu negara dengan cara yang tidak demokratis,” ujarnya.
KTT Kontra Teroris ini merupakan kelanjutan dari sesi Dewan Keamanan PBB yang diketuai Presiden Obama bulan September lalu. Sesi itu membahas upaya untuk meredam arus pejuang teroris asing.
Wapres Jusuf Kalla tidak menampik adanya warga Indonesia yang bergabung dengan kelompok-kelompok ekstremis.
Ia mengatakan, “Indonesia memang ada, tapi jumlahnya sedikit dibandingkan dengan persentase penduduk, jauh lebih banyak di Eropa daripada Indonesia.”
Yang penting, menurut JK, adalah mengatasi akar penyebab ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang seringkali melahirkan gerakan radikal dan ekstremis.
“Penyebabnya dulu harus dievaluasi dan gerakan moderasi yang harus ditingkatkan. Kenapa Indonesia kurang? (lebih sedikit orang radikal), karena kita (menganut) Islam moderat, lebih moderat dibanding negara lain.”
Wakil Presiden Indonesia itu mengatakan bahwa ekstremisme tidak bisa diatasi dengan intervensi militer.
JK mengatakan terorisme dan ekstremisme yang disertai kekerasan kebanyakan terjadi di "negara yang gagal" seperti Afghanistan, Irak, dan Suriah. Situasi diperparah dengan konflik dan intervensi militer berkepanjangan.
Berbicara di PBB, JK menyerukan para pemimpin negara agar lebih berinvestasi pada kesejahteraan sosial di negara konflik, daripada melakukan intervensi militer.
Yang tidak kalah penting, tambahnya, adalah mengatasi akar penyebab ketidakadilan dan ketimpangan sosial, yang sering kali mendorong lahirnya gerakan ekstremisme dan radikalisme.
JK optimistis radikalisme di Indonesia dapat dikekang dengan terus berusaha memperbaiki kesejahteraan sosial dan kesetaraan. [vm/ii]