Warga Palestina menyampaikan kewaspadaan namun tidak terkejut dengan hasil pertemuan hari Rabu (15/2) di Washington antara Presiden AS dan Perdana Menteri Israel, dimana Donald Trump tampaknya mundur dari kebijakan Amerika selama beberapa dekade.
“Saya menantikan dua negara dan satu negara, dan saya menyukai yang disukai kedua belah pihak,” kata Trump dalam konferensi bersama dengan Netanyahu. “Saya bisa menerima salah satunya."
Nikki Haley, duta besar Amerika untuk PBB hari Kamis menciptakan kebingungan lebih jauh ketika ia bersikeras bahwa “penyelesaian dua negara adalah yang didukung Amerika”. Tapi itu tidak menenangkan kemarahan diantara warga Palestina yang masih memusatkan perhatian pada keterbukaan Trump dengan satu negara.
Dalam sebuah tajuk rencana yang berjudul “Absennya Solusi Dua Negara Berarti Negara Tunggal, Bahkan Rasialisme," surat kabar daring Al-Quds di Yerusalem yang pro-Palestina, hari Kamis, menulis bahwa Trump melengkapi sikap dan kebijakan Netanyahu, yang “membunuh solusi dua negara di tengah-tengah kebiadaban permukiman yang tidak lazim dan keputusan Parlemen Israel Knesset mengenai hal ini".
Yang terakhir merujuk pada diloloskannya “Undang-undang Regulasi” yang kontroversial oleh parlemen Israel 6 Februari lalu, yang secara retroaktif melegalisasi puluhan permukiman di seluruh Tepi Barat.
The editorial called for Palestinians to reassess their goals: “We should call for a single state, which is practically and politically dead after the meetings in Washington, and call for one state. And perhaps we should also hand over all Palestinian keys to Israel.”
Tajuk rencana itu mengimbau warga Palestina untuk meninjau kembali tujuan-tujuan mereka: “Kita harus meminta negara tunggal, yang secara praktis dan politis berakhir setelah pertemuan di Washington, dan menyerukan satu negara. Mungkin kita harus menyerahkan semua kunci Palestina kepada Israel”. [my/al]