Militer Myanmar tidak memiliki rencana strategis untuk mengakhiri konflik dan memajukan negara itu secara regional dan global pada tingkat diplomatik. Demikian seperti dikatakan oleh para pakar setelah para pemimpin militer Myanmar, yang secara resmi bernama Dewan Administrasi Negara, bertemu dengan para pejabat senior Thailand di Thailand pada Senin (19/6).
Menteri Luar Negeri Myanmar Than Swe dilaporkan menghadiri pertemuan tersebut, yang berlangsung selama dua hari di Pattaya, sebuah resor liburan berjarak sekitar 100 kilometer dari Bangkok.
Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai mengatakan krisis di Myanmar menimbulkan pengungsi yang lari melintasi perbatasan Thailand-Myanmar, dan perdagangan antara kedua negara telah rusak. Brunei, Kamboja, China, India, Laos, dan Vietnam dilaporkan juga menghadiri pertemuan tersebut.
David Scott Mathieson, seorang analis Myanmar, mengatakan militer tidak memiliki cetak biru jangka panjang.
“Tidak ada jalan keluar secara internasional. Waktu untuk rencana keluar pasca-kudeta adalah awal tahun 2021 menurut rencana ASEAN, tapi mereka benar-benar melewatkan kesempatan itu. Mereka hanya menyusun strategi dari hari ke hari, yang berarti bahwa mereka tidak memiliki peluang untuk membuat rencana diplomatik yang koheren. Mereka hanya reaktif, hanya itu yang dapat dilakukan oleh Jenderal Min Aung Hlaing,” katanya kepada VOA.
Pertemuan itu tidak terduga karena para pemimpin Myanmar dilarang berpartisipasi dalam pertemuan besar kelompok regional ASEAN yang beranggotakan 10 orang itu. Beberapa anggota ASEAN — termasuk ketua saat ini Indonesia, Malaysia, dan Singapura — menolak untuk menghadiri pertemuan di Pattaya tersebut.
Para jenderal yang berkuasa di Myanmar menjanjikan pemilihan pada Februari 2021, tetapi mereka menghadapi penolakan yang meluas terhadap kekuasaan mereka, dan telah berulang kali memperpanjang keadaan darurat. Perpanjangan terbaru akan berakhir pada 1 Agustus. [lt/ab]
Forum