Seakan mengikuti keterangan beberapa organisasi serupa sebelumnya, Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) hari Rabu (8/6) mengatakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 hanya akan mencapai 3%, atau berarti turun dari 4,5% yang diprediksi pada Desember lalu. Perang Rusia di Ukraina ditengarai sebagai salah satu penyebabnya Sejumlah negara berpendapatan rendah diperkirakan akan menanggung beban terberat.
OECD mengatakan perang Rusia di Ukraina, dan memburuknya krisis harga pangan dan energi akan sangat melemahkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong inflasi tahun ini.
Sekjen OECD Mathias Cormann mengatakan, “Akibat perang Rusia di Ukraina, pertumbuhan ekonomi global akan lebih rendah dan inflasi akan lebih tinggi dalam waktu yang lebih lama. Investasi bisnis dan pertumbuhan konsumsi swasta terpukul, dan perang ini akan semakin memperburuk gangguan rantai pasokan – yang sebelumnya disebabkan oleh pandemi – yang kini mendorong kenaikan harga energi dan pangan, dan menyebabkan volatilitas harga yang signifikan.”
Kelompok yang berkantor di Paris ini pada hari Rabu (8/6) juga mengatakan kebijakan “nol-COVID” di China yang telah menimbulkan dampak terhadap rantai pasokan manufaktur, juga membebani ekonomi dunia yang mulai pulih dari pandemi COVID-19.
“Kebijakan “nol-COVID” di China juga semakin menekan harga karena terjadinya hambatan pasokan dan melemah tajamnya aktivitas ekonomi di China.”
Hal ini diakui Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen yang mengatakan industri perdagangan negara itu kita menghadapi ketidakpastian dan tekanan akibat melambatnya permintaan global dan isu-isu logistik di dalam negeri.
Berbicara dalam konferensi pers bersama pejabat-pejabat Bank Sentral dan bea cukai China hari Rabu, ia mengatakan, “Kita harus menyadari bahwa masih ada serangkaian ketidakpastian dalam perdagangan luar negeri. Misalnya pada aspek pertama – yaitu pemulihan ekonomi dunia masih relatif rentan, dan pertumbuhan permintaan pasar lambat.”
OECD memperkirakan ekonomi global akan tumbuh 3% pada tahun 2022, atau berarti turun dari 4,5% yang diprediksi pada Desember lalu. Sementara inflasi di 38 negara anggota OECD diperkirakan mencapai hampir 9% atau berarti hampir dua kali lipat dari perkiraan sebelumnya.
Kepala ekonom OECD, Laurence Boone, menyampaikan kekhawatiran akan dampak perlambatan pertumbuhan dan inflasi ini terhadpa negara-negara berpendapatan rendah.
“Kami sangat prihatin dan khawatir dengan situasi pangan di negara-negara berpendapatan rendah. Perang benar-benar telah mengirim gelombang kejutan ke Afrika dan Timur Tengah. Kita melihat betapa tergantungnya negara-negara yang ada di Timur Tengah dan Afrika, dari Lebanon hingga Mesir, Tunisia atau Yaman, pada Rusia dan Ukraina.”
Empat puluh persen dari pendapatan negara-negara ini dihabiskan untuk pangan dan energi.
Salah satu negara yang telah sangat merasakan dampak perlambatan ekonomi dan krisis pangan itu adalah Somalia. Koordinator Kemanusiaan PBB Untuk Somalia, Adam Abdelmoula mengingatkan Somalia “kini berada di ambang kelaparan massal yang menghancurkan dan meluas, yang dapat merenggut ratusan ribu nyawa.”
Lima negara lain yang menghadapi kondisi yang kurang lebih sama adalah Ethiopia, Nigeria, Sudan Selatna, Yaman dan Afghanistan. [em/lt]