Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menyoroti peran masyarakat sipil dalam perusakan rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, pada minggu lalu.
Pada Jumat (3/9), sekitar dua ratus orang yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Sintang - dengan motor utama Persatuan Orang Melayu (POM)- merusak rumah ibadah jemaah Ahmadiyah. Mereka membakar dan mengobrak-abrik Masjid Miftahul Huda yang sudah berdiri sejak 2007 itu.
Menurut dua organisasi pergerakan Islam terbesar di Indonesia ini, masyarakat sipil memiliki peran penting dalam menyuarakan keadaban di ruang publik, hal penting yang dinilai hilang sehingga kejadian perusakan rumah ibadah tersebut akhirnya terjadi..
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan peristiwa ini tidak dapat dibenarkan secara hukum dan agama Islam. Karena itu, Mu'ti mendorong kehidupan beragama yang rukun untuk mencegah tindakan serupa terulang kembali.
Ia menilai penindakan dengan menggunakan pendekatan hukum dapat dilakukan dalam kasus-kasus serupa, tetapi dikhawatirkan kontraproduktif dalam pembangunan kerukunan beragama.
"Sehingga yang perlu dilakukan adalah membangun kohesi sosial yang lebih baik dengan sikap dan pandangan sosial dan keagamaan yang lebih terbuka. Karena itu menurut saya toleransi saja tidak cukup, kita harus beyond tolerance," jelas Abdul Mu'ti dalam diskusi daring, Rabu (8/9/2021) malam.
Abdul Mu'ti menjelaskan hasil survei beberapa lembaga menunjukkan toleransi antar pemeluk agama di Indonesia sudah cukup baik. Survei-survei yang dirujuk di antaranya survei Kementerian Agama dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.
Namun, sebaliknya kerukunan internal beragama masih rendah dan konsisten dari tahun ke tahun. Karena itu, ia menilai berdasarkan hasil riset tersebut maka tidak mengagetkan ketika ada serangan terhadap rumah ibadah jemaat Ahmadiyah yang minoritas.
Senada dengan Muhammadiyah, tokoh muda Nahdlatul Ulama Taufik Damas mengatakan peristiwa tersebut dapat dijadikan evaluasi bagi masyarakat sipil soal lemahnya pelaksanaan prinsip kebebasan beragama di masyarakat.
Suara masyarakat sipil tentang prinsip kebebasan beragama, menurutnya, kalah dengan pembicaraan politik. Karena itu, ia juga mendorong partai politik agar membangun masyarakat yang dapat menghargai semua perbedaan seperti agama dan keyakinan.
Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana mengatakan sebagian besar pelaku yang menyerang rumah ibadah jemaat Ahmadiyah merupakan orang yang tidak kenal dengan Ahmadiyah.
Pelaku perusakan itu pun disinyalir berasal dari warga yang tinggal jauh dari rumah ibadah tersebut.
Taufik kembali menekankan pentingnya kebebasan beragama yang merupakan hak asasi manusia.
Namun, ia juga menuturkan terdapat kesulitan pemahaman sebagian umat Islam terhadap Ahmadiyah. Sebab, sebagian umat Islam menilai kepercayaan Ahmadiyah berbeda dengan ajaran Islam.
"Jadi hal-hal semacam ini seharusnya kelompok Ahmadiyah bisa memberikan penjelasan yang baik dan benar dalam rangka meminimalisir kemungkinan mereka menjadi sasaran seperti yang terjadi di Sintang, Gresik dan lain-lain," jelas Taufik.
Ahmadiyah sendiri sudah melakukan berbagai macam upaya untuk mengenalkan pemahaman penganutnya pada masyarakat, termasuk di dalamnya seperti kegiatan seperti penerjemahan Al-Quran.
Yendra berharap pemerintah dapat memfasilitasi ruang perjumpaan antara jemaah Ahmadiyah dengan berbagai kelompok agar mereka dapat lebih mengenal Ahmadiyah secara langsung.
"Mereka (pelaku pengrusakan) adalah orang-orang yang tidak tahu keseharian Ahmadiyah seperti apa. Salah satu berita yang tidak benar adalah kitab sucinya bukan Al-Quran tetapi Tadzkirah," tutur Yendra.
Yendra menambahkan persoalan lainnya, yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 3 tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Menurutnya, SKB ini telah dijadikan dasar penerbitan 30 peraturan daerah, meski kemudian diterjemahkan sebagai pelarangan Ahmadiyah. Aturan ini kemudian mendiskriminasi jemaat Ahmadiyah karena tidak mendapat pelayanan publik seperti mengurus KTP dan buku pernikahan. Karena itu, Yendra mendesak pemerintah untuk mencabut SKB tersebut. [sm/rs]