Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan telah mendapat kabar bahwa sekitar 10 orang telah diperiksa polisi terkait perusakan rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Namun, ia meminta polisi mengembangkan kasus ini hingga aktor intelektual perusakan rumah ibadah tersebut ditemukan. Menurutnya, pengembangan ini akan lebih mudah karena ada jejak digital atau provokasi, serta ujaran kebencian terkait kasus ini.
"Kalau itu hanya pelaku lapangan, ini potensial terjadi di mana-mana. Karena pola dan sebagainya, kita pernah belajar di Jawa Barat dan Lombok, penting penegakan hukum ini serius dan tidak hanya pelaku lapangan," jelas Anam secara daring, Senin (6/9/2021).
Anam menambahkan lembaganya telah berkoordinasi dengan kepolisian daerah untuk mencegah konflik sebelum peristiwa perusakan rumah ibadah. Namun, ia menilai kepolisian daerah tidak maksimal dalam mengawal potensi konflik ini. Karena itu, Anam mendorong Mabes Polri untuk mengambil alih penanganan kasus ini agar tidak menyebar ke wilayah lain.
Selain itu, Anam meminta pemerintah untuk mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Peringatan dan Perintah JAI dan warga masyarakat. Ia beralasan SKB tersebut diskriminatif terhadap jemaat Ahmadiyah.
"Sejak awal Komnas HAM mendorong SKB ini dibatalkan. Saat ini komitmen negara terhadap HAM dan hukum, ya cabut SKB itu. Karena faktanya banyak kekerasan dan diskriminasi terjadi," tambahnya.
Anam menambahkan pemerintah juga perlu mencabut SKB tentang pendirian rumah ibadah yang menjadi persoalan yang dihadapi jemaah Ahmadiyah, dan kelompok minoritas lainnya.
Langgar SKB
Perwakilan Tim Hukum JAI Fitria Sumarni menyesalkan orang yang kerap menuding Ahmadiyah sesat dan melanggar SKB tentang Peringatan dan Perintah JAI dan warga masyarakat. Padahal, kata dia, yang melanggar SKB tersebut merupakan orang yang melakukan perusakan atau tindak pidana. Sebab, pasal 4 dalam SKB memerintahkan warga untuk tidak melakukan perbuatan melawan hukum terhadap jemaat Ahmadiyah.
"Pada kenyataannya mereka (pelaku) jelas-jelas melakukan pengancaman dan perusakan yang merupakan tindak pidana. Dan berdasar SKB, mereka seharusnya diproses hukum dan ditangkap karena melakukan tindakan kriminal," jelas Fitria Sumarni.
Fitria menambahkan rumah ibadah yang dirusak telah berdiri sejak 2007. Rumah ibadah ini digunakan untuk salat dan mengaji oleh jemaaj hingga 2020. Namun, karena rumah ibadah yang terbuat dari kayu ini sudah tidak layak maka JAI kemudian memutuskan untuk membangun masjid tersebut.
Fitria mengatakan permasalahan rumah ibadah Ahmadiyah di Sintang tidak hanya persoalan izin. Sebab, kata dia, pihaknya telah berkoordinasi dengan bupati pada April 2020. Menurutnya, bupati mempersilakan jemaaj Ahmadiyah membangun rumah ibadah tersebut. Meski kemudian, bupati menutup paksa bangunan rumah ibadah tersebut dengan alasan tidak berizin pada Agustus 2021.
"Kami meminta kepada Komnas HAM untuk mengusut tuntas dugaan adanya kelalaian aparat kepolisian dan TNI dalam penanganan keamanan terkait peristiwa perusakan masjid," tambahnya.
Kata Fitria, dugaan kelalaian tersebut muncul karena jumlah aparat keamanan lebih banyak dibandingkan dengan orang yang merusak rumah ibadah. Namun, pertahanan aparat yang berjumlah sekitar 300an personel dapat dijebol 200an orang yang terlibat dalam peristiwa ini.
Polri Belum Ambil Alih
Sementara itu, Mabes Polri belum mengambil penanganan kasus perusakan rumah ibadah JAI di Kabupaten Sintang. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan masih melihat perkembangan kasus tersebut.
"Nanti kita lihat perkembangan, untuk sementara masih ditangani Polda kalimantan Barat," kata Argo Yuwono kepada VOA, Senin (6/9/2021).
Jumat (3/9) sekitar dua ratus orang yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Sintang - dengan motor utama Persatuan Orang Melayu (POM)- merusak rumah ibadah jemaah Ahmadiyah. Mereka membakar dan mengobrak-abrik Masjid Miftahul Huda yang sudah berdiri sejak 2007. [sm/em]