Tim riset keamanan Microsoft, Jumat (3/2), membeberkan kelompok peretas yang didukung pemerintah Iran diduga mencuri dan membocorkan data pelanggan pribadi milik majalah satir Prancis Charlie Hebdo.
Situs web majalah itu diretas pada awal Januari setelah menerbitkan serangkaian kartun satir yang menggambarkan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Khamenei. Karikatur itu, menurut Charlie Hebdo, dimaksudkan untuk mendukung protes antipemerintah yang terjadi di negara Islam tersebut yang dipicu kematian perempuan Kurdi, Mahsa Amini, di tangan polisi moral.
Perwakilan pemerintah Iran dan Prancis tidak segera menanggapi permintaan komentar Reuters.
Iran secara terbuka bersumpah akan memberikan "tanggapan jitu" terkait kartun yang dianggap "menghina.” Negara tersebut juga telah memanggil utusan Prancis di Teheran, sekaligus menutup kegiatan Institut Riset Prancis di Iran. Pemerintah berkilah pihaknya sedang mengevaluasi kembali aktivitas budaya Prancis di negara tersebut.
Peneliti Microsoft dalam sebuah laporan mengatakan peretasan dan kebocoran yang menargetkan Charlie Hebdo adalah bagian dari operasi digital yang menggunakan teknik yang serupa dengan aktivitas peretasan yang didukung negara Iran. Kelompok yang bertanggung jawab adalah kelompok yang sama yang sebelumnya diidentifikasi oleh pejabat Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) telah melakukan "kampanye multifaset" untuk ikut campur dalam Pemilihan Presiden AS pada 2020, kata Microsoft. Iran membantah klaim tersebut pada saat itu.
Di tengah kritik Iran terhadap kartun Khamenei, sekelompok peretas yang menamakan dirinya "Jiwa Suci" mengunggah di forum online bahwa mereka memiliki akses nama dan detail kontak lebih dari 200.000 pelanggan Charlie Hebdo. Dalam unggahan tersebut, mereka mengatakan akan menjual informasi tersebut seharga 20 bitcoin ($470.000 atau sekitar Rp1 miliar).
Sampel data yang bocor kemudian dirilis dan diverifikasi keasliannya oleh surat kabar Prancis Le Monde.
"Informasi ini, yang diperoleh aktor Iran, dapat menempatkan pelanggan majalah tersebut dalam risiko online atau penargetan fisik oleh organisasi ekstremis," kata para peneliti Microsoft.
Untuk memperkuat operasi mereka, para peretas Iran menggunakan akun Twitter dengan identitas palsu untuk mengkritik kartun Khamenei. Dua akun yang menyamar sebagai editor Charlie Hebdo dan seorang eksekutif teknologi, kata Microsoft, juga mengunggah data yang bocor sebelum Twitter melarangnya. [ah/ft]
Forum