JAKARTA —
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan bahwa anggaran sebesar apapun untuk menekan jumlah orang dengan HIV/AIDS, angkanya akan terus bertambah tanpa dilakukan pencegahan, terutama meningkatkan kesadaran pria untuk memakai kondom.
Dalam pertemuan pada Rabu (21/11) dengan pemangku kepentingan dalam meningkatkan jaminan sosial yang sensitif HIV di Indonesia, Nafsiah mengatakan
pemerintah terus berupaya mencari formula tepat untuk meringankan biaya pengobatan bagi orang dengan HIV/AIDS dari kalangan ekonomi tak mampu.
“Tim ahli nanti bahas bersama dengan teman-teman populasi kunci bagaimana penerimanya. Dan kalau memang kita sudah sepakati bersama ya tinggal kita buatkan aturannya sehingga dengan demikian bisa dilaksanakan dan bisa dianggarkan untuk itu,” ujarnya.
Namun Nafsiah mengingatkan, yang terpenting dalam upaya menekan jumlah orang dengan HIV/AIDS adalah pencegahan, termasuk penularan terhadap bayi.
“Kita sudah ada program pencegahan penularan dari ibu ke anak. Kita harapkan nanti bisa di semua puskesmas dan rumah sakit tertentu, pengobatannya masuk nanti dalam jaminan kesehatan. Pada saat ini seluruhnya ditanggung oleh pemerintah,” ujar Nafsiah.
“Namun memang tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Perempuan yang positif itu sudah bisa menjaga supaya kalau belum siap jangan hamil. Tetapi kalau sudah hamil mencari kemungkinan mencegah penularan kepada bayinya.”
Direktur Eksekutif Indonesia Aids Coalition, Aditya Wardana, menilai kepedulian pemerintah terhadap orang dengan HIV/AIDS semakin meningkat, namun pengawasan implementasi bantuan masih lemah.
“Anggaran makronya memang meningkat signifikan untuk perawatan, pengobatan dan nominalnya itu sekitar US$40 juta untuk setahun. Yang menjadi masalah adalah kadangkala alokasi anggaran ini tidak tepat sasaran. Untuk pencegahan memang kita masih banyak tantangan, tapi bukan berarti untuk pengobatan sudah selesai,” ujarnya.
Aditya mengatakan masih ada penolakan terhadap orang dengan HIV/AIDS yang menggunakan fasilitas jaminan kesehatan dari pemerintah.
“HIV termasuk di dalam jaminan sosial atau jaminan kesehatan, tapi tidak ada juga aturan yang secara jelas mengatakan bahwa misalnya ditulis saja jaminan kesehatan ini bisa meng-cover tes penunjang, jadi sudah tidak ada celah lagi,” ujarnya.
“Kerap kali terjadi kesenjangan antara tataran komitmen, kebijakan dengan implementasi. Nah, ini bagaimana kemudian pemerintah memainkan peran regulasinya, bagaimana memastikan implementasinya ini sesuai dengan komitmen dan kebijakannya.”
Dalam pertemuan pada Rabu (21/11) dengan pemangku kepentingan dalam meningkatkan jaminan sosial yang sensitif HIV di Indonesia, Nafsiah mengatakan
pemerintah terus berupaya mencari formula tepat untuk meringankan biaya pengobatan bagi orang dengan HIV/AIDS dari kalangan ekonomi tak mampu.
“Tim ahli nanti bahas bersama dengan teman-teman populasi kunci bagaimana penerimanya. Dan kalau memang kita sudah sepakati bersama ya tinggal kita buatkan aturannya sehingga dengan demikian bisa dilaksanakan dan bisa dianggarkan untuk itu,” ujarnya.
Namun Nafsiah mengingatkan, yang terpenting dalam upaya menekan jumlah orang dengan HIV/AIDS adalah pencegahan, termasuk penularan terhadap bayi.
“Kita sudah ada program pencegahan penularan dari ibu ke anak. Kita harapkan nanti bisa di semua puskesmas dan rumah sakit tertentu, pengobatannya masuk nanti dalam jaminan kesehatan. Pada saat ini seluruhnya ditanggung oleh pemerintah,” ujar Nafsiah.
“Namun memang tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Perempuan yang positif itu sudah bisa menjaga supaya kalau belum siap jangan hamil. Tetapi kalau sudah hamil mencari kemungkinan mencegah penularan kepada bayinya.”
Direktur Eksekutif Indonesia Aids Coalition, Aditya Wardana, menilai kepedulian pemerintah terhadap orang dengan HIV/AIDS semakin meningkat, namun pengawasan implementasi bantuan masih lemah.
“Anggaran makronya memang meningkat signifikan untuk perawatan, pengobatan dan nominalnya itu sekitar US$40 juta untuk setahun. Yang menjadi masalah adalah kadangkala alokasi anggaran ini tidak tepat sasaran. Untuk pencegahan memang kita masih banyak tantangan, tapi bukan berarti untuk pengobatan sudah selesai,” ujarnya.
Aditya mengatakan masih ada penolakan terhadap orang dengan HIV/AIDS yang menggunakan fasilitas jaminan kesehatan dari pemerintah.
“HIV termasuk di dalam jaminan sosial atau jaminan kesehatan, tapi tidak ada juga aturan yang secara jelas mengatakan bahwa misalnya ditulis saja jaminan kesehatan ini bisa meng-cover tes penunjang, jadi sudah tidak ada celah lagi,” ujarnya.
“Kerap kali terjadi kesenjangan antara tataran komitmen, kebijakan dengan implementasi. Nah, ini bagaimana kemudian pemerintah memainkan peran regulasinya, bagaimana memastikan implementasinya ini sesuai dengan komitmen dan kebijakannya.”